Sang surya telah menampakkan dirinya. saatnya memulai rutinitas seperti biasanya. Aku telah terjaga ketika adzan shubuh berkumandang. Aku sholat berjamaah bersama Abi, Ummi, dan kedua saudaraku. Senang sekali rasanya.
Kenalkan namaku Hadi. Aku anak bungsu dari 3 bersaudara. Aku tinggal di daerah pesisir pantai yang menghadap Samudera yang luas. Di tengah samudra terlihat gunung yang sangat tinggi menjulang. Iya ada gunung yang berada ditengah samudera walau tidak berada persis di tengah samudra. Gunung itu merupakan gunung yang aktif dan sering menunjukkan aktivitasnya seperti mengeluarkan awan panas dan lava pijar. Aku bersyukur karena tempat tinggalku yang berada di daerah pesisir merupakan daerah tambak. Banyak sekali penduduk di desa ku yang bekerja sebagai petambak dan juga nelayan. Termasuk orang tuaku yang bekerja sebagai seorang nelayan. Oh iya, aku sekarang tinggal bersama kedua orang tuaku yang biasa kupanggil Abi dan Ummi. Mereka adalah orang tua yang sangat luar biasa. Kebijaksanaan mereka bisa mendamaikan pertengkaran orang lain, termasuk pertengkaran dari anak-anaknya. Selain tinggal bersama kedua orang tuaku, aku juga tinggal bersama kedua kakakku yang sangat aku sayangi. Mereka adalah kak Ali dan kak Hasan. Mereka sudah duduk di bangku SMA sedangkan aku sendiri masih duduk dibangku kelas 5 SD.
Sejak kami kecil, Abi dan Ummi telah membimbing kami agar kami menjadi manusia yang berguna. Mereka mengajari kami tentang kehidupan seorang nelayan. Kami terkadang ikut Abi melaut untuk mencari ikan. Di tengah-tengah laut itulah beliau menunjukkan arah angin dan bagaimana cara memaksimalkan hasil tangkapan ikan. Beliau juga mengajak kami ke pasar ikan untuk menjual hasil tangkapan ikan. Sedangkan Ummi juga mengajari kami bagaimana cara mengolah ikan.
Selain mengajari kami hal tersebut, kedua orang tuaku juga mengajari kami tentang keagamaan. Mereka juga mendukung anak-anaknya untuk menjadi penghafal Al-Quran. Tidak heran jika aku dan kedua kakakku hafal Al-Quran walau hafalan kami belum 30 juz.
Hari sudah mulai beranjak siang. Aku siap untuk pergi bersekolah. Aku bersekolah di MI Tahfidz yang berada disamping masjid agung di tengah kota. Di sekolahku ada sebuah kewajiban bagi seluruh seluruh siswanya untuk menghafalkan Al-Quran minimal 4 juz. Dan tak lama lagi akan ada ujian hafalan Al-Quran sebagai penilaian akhir untuk semester ini. Ujian itu akan dilangsungkan bulan depan. Tapi aku telah memulai mempersiapkan itu sudah lama, karena ujian itu selalu dilangsungkan pada tiap semesternya. Abi dan Ummi selalu membantuku dalam mempersiapkan ujian yang akan aku hadapi, termasuk ujian ini. Aku akhirnya memberi tahu Abi tentang pengumuman penilaian akhir semester itu. Setelah shalat maghrib, seperti biasanya aku dibantu Abi menambah dan mengulang Hafalan Al-Quranku. “Alhamdulillah hafalanmu sudah bertambah dan sudah semakin kuat. Tingkatkan lagi hafalanmu ya.” Kata Abi menyemangatiku sambil tersenyum melihat hafalanku yang sudah semakin banyak. Aku juga bersyukur mendengarnya. Ummi juga ikut bangga dan bersyukur mendengarnya. Hafalan dari kakak-kakakku juga bertambah. Mereka juga akan menghadapi ujian hafalan selang seminggu sebelum aku ujian.
Keesokan harinya, ketika aku menambah hafalan di latar Abi mengajakku ke pasar yang berada di pinggir kota. Beliau membelikanku sebuah Al-Quran yang khusus untuk hafalan. Aku senang sekali karena aku sudah lama menginginkan Al-Quran tersebut. Abi bilang jika Al-Quran semacam itu akan banyak membantu ketika aku menambah hafalan.
Setelah dari pasar aku langsung menuju alun-alun kota untuk menghabiskan waktu bersama teman-teman sekolah. Kami sangat asyik bermain bersama di alun-alun hingga tak terasa hari sudah siang dan hamper memasuki waktu dhuhur. Aku dan lainnya sepakat untuk pulang sebelum kena marah orang tua masing-masing. Kami pun pulang bersama-sama dan sampai rumah tepat ketika adzan dhuhur berkumandang. Aku bersyukur karena tidak dimarahi oleh orang tua dan kedua kakakku. Mereka menerapkan kedisiplinan waktu dengan sangat sehingga tak jarang aku terkena marah Karena sering lupa waktu terutama ketika main. Aku bergegas berwudhu dan sholat berjamaah bersama Abi. Lalu aku istirahat. Setelah sore dan melaksanakan sholat Ashar aku mengaji di TPQ yang berada di musholla dekat rumah. Setelah sholat Maghrib seperti biasa sebelum aku belajar Abi mengecek Hafalan Al-Quranku. Itu dilakukan setiap hari agar hafalanku tetap terjaga.
Waktu untuk ujian hafalan Al-Quran semakin dekat.aku sudah semakin siap untuk mengikuti ujian hafalan tersebut. Ditengah aku mempersiapkan ujian tersebut, gunung yang berada ditengah-tengah lautan beberapa kali menunjukkan aktivitasnya. Kata Ummi aktivitasnya meningkat. Gunung tersebut seringkali mengeluarkan awan dan lava pijar. Dan beberapa kali terjadi Gempa dalam sehari. Aku hanya bisa berdoa semoga tidak terjadi apa-apa.
Tak terasa ujian akan dilaksanakan esok hari. Aku sudah siap untuk ujian yang diselenggarakan. Kata Ummi aku harus sering-sering berdoa agar diberikan kelancaran oleh Allah. Akan tetapi aku merasakan adanya perbedaan yang ditunjukkan oleh seluruh hewan-hewan yang berada di sekitar pantai. Entah kenapa hewan-hewan tersebut enggan untuk menuju pantai dan beberapa hewan ternak juga meronta-ronta meminta keluar, bahkan ada beberapa yang berhasil kabur dari kandang mereka. Semoga tidak terjadi apa-apa, itulah doa yang dipanjatkan oleh Abi, Ummi, dan seluruh warga di tempatku tinggal.
Esok harinya. Memasuki waktu Dhuha dan aku tengah bersiap-siap untuk mengikuti ujian, tiba-tiba gempa mengguncang wilayah kami diikuti suara dentuman yang sangat keras. Suara dentuman itu terdengar berkali-kali sehingga membuat semua orang takut. Aku dan Abi akhirnya keluar ketika gempa mengguncang. Ummi melihat ke tengah-tengah samudra dan memberi tahu kami bahwa gempa dan suara dentuman itu berasal dari aktivitas gunung yang kian hari kian meningkat. Suara dentuman kian keras dan awan panas terus keluar dari gunung yang disertai lava yang berwarna merah api yang terus keluar tiada henti. Gempa terus-menerus mengguncang. Ditengah-tengah ketakutan yang dialami warga, mereka dikejutkan dengan air laut yang tiba-tiba surut. Tidak lama setelah surutnya air laut ada peringatan dari warga yang lain. “Awas, ombak besar ombak besar. Selamatkan diri, air laut naik, air laut naik cepat cari tempat tinggi air laut naik.” Sahut warga dari arah pantai yang disertai suara gemuruh dari laut. Benar saja, tiba-tiba air laut menggenangi daerah itu dan semakin tinggi. Air laut yang bercampur lumpur membawa apapun yang dilaluinya. Aku, orang tua dan kedua kakakku menyelamatkan diri menuju lantai 2 sekolah. Namun, karena gelombang yang sangat tinggi sekolahku pun akhirnya tenggelam. Daerahku akhirnya tenggelam oleh air laut. Aku terpisah dari keluargaku dan aku tidak sadarkan diri. Air bah menggulung desa tempatku tinggal sekitar 2 jam.
Setelah air bah surut, aku terdampar di kaki bukit yang berjarak sekitar 6 KM dari lokasi awal aku berdiri. Dengan kondisiku yang tidak sadarkan diri. Selama aku tidak sadarkan diri, aku meli ketiga kakakku dan Abi berjalan menuju sebuah tempat yang indah. Namun, aku dilarang ketika aku ingin mengikuti mereka dengan alasan aku harus menyelesaikan hafalan Al-Quranku hingga selesai. Aku hanya bisa menangis ketika itu. Ketika aku tersadar, aku masih berada di kaki bukit itu. Aku merasakan sakit yang berada di kaki dan tanganku. Aku juga merasa lapar dan haus karena entah berapa lama tidak ada makanan maupun minuman yang masuk. Aku tidak mampu kemana-mana karena aku tidak bisa berdiri apalagi berjalan. Aku tidak tahu sampai kapan aku berada di tempat itu. Beberapa meter dari lokasiku berada ada juga Kak Hasan yang telah menjadi mayat dan ada beberapa orang yang kukenal termasuk salah seorang temanku yang juga telah menjadi mayat. Waktu terus berjalan, namun aku belum bisa pergi dari tempat itu. Dan ditambah bau busuk yang diakibatkan oleh mayat-mayat yang berada disekitarku. Bau itu sangat menyengat. Karena kondisi ku yang juga lemah aku pun akhirnya kembali tidak sadarkan diri.
Ummi selamat dari musibah itu karena berpegangan pada papan kayu dan tertahan di sebuah gedung. Ummi berada di dalam gedung yang sudah nyaris tenggelam hingga air surut. Setelah air surut, Ummilangsung turun dengan rasa shock karena bencana yang baru saja terjadi. Orang-orang yang dicintainya tidak ada disisinya dan rumah sudah tidak berbentuk. Ummi hanya bisa menangis dan memohon ampun kepada Allah dan memohon agar segera bertemu dengan orang-orang yang dicintainya bagaimanapun kondisinya. Untuk sementara waktu ummi tinggal di penampungan yang terletak di sebelah kantor desa. Tempat penampungan itu dibangun oleh relawan yang berada di lokasi itu untuk memberi bantuan kepada warga di daerahku. Tak lama setelah bencana itu terjadi bala bantuan datang. Bantuan itu dari pihak relawan dan tenaga kesehatan juga obat-obatan. Bantuan berupa bahan makanan dan pakaian juga berdatangan keesokan harinya. Para relawan itu mendirikan dapur umum untuk membantu menyediakan makanan. Dan relawan yang lain membantu untuk membersihkan daerah itu dan menyisir daerah tiap daerah untuk mencari korban baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Setelah 5 hari aku berada di kaki bukit tempatku terdampar, akhinya relawan menemukanku dan segera membawaku ke posko kesehatan terdekat. Seelah aku dicek di posko kesehatan mereka memutuskan agar aku dibawa ke Rumah Sakit Darurat yang berada di Desa tempatku tinggal agar aku mendapat perawatan yang lebih baik melihat kondisiku yang begitu lemah. Sedangkan Kak Hasan langsung dibawa ke posko relawan yang berada ditengah kota. Abi dan juga Kak Ali juga ditemukan meninggal dunia. Ummi yang beberapa hari mencari semua orang-orang yang dicintainya akhirnya harus rela menghikhlaskan Abi dan kedua anaknya ysng ditemukan dalam keadaan sudah menjadi mayat. Namun, masih belum mengetahui keadaanku. Beliau terus mencariku di beberapa posko penampungan, posko pengumpulan mayat, dan beberapa pos kesehatan.
Sesampainya di Rumah Sakit Darurat, aku langsung mendapatkan penanganan. Setelah aku diperiksa tim medis memutuskan untuk mengamputasi kaki kanan dan telapak tangan kiri. Operasi akhirnya dilaksanakan walau dengan alat seadanya. Operasi itu berjaan lancar dan berhasil. Ummi akhirnya mencari informasi keberadaanku di RS darurat. Disitulah beliau menemukanku dalam kondisi tak sadarkan diri. Dokter menjelaskan kondisiku dan telah melakukan operasi amputasi untuk kaki dan tanganku demi keselamatan jiwaku. Ummi hanya bisa menangis mendapati diriku dengan kondisi yang seperti itu. Malam Harinya, aku tersadar dan bingung dengan keberadaanku dan rasa panas yang kurasakan di bagian tangan kiri dan kaki kananku. Ummi akhirnya berkata “kamu berada di RS Darurat sayang.” Aku juga terkejut melihat tngan kiri dan kaki kananku sudah tidak ada. Aku bertanya kepada Ummi “tanganku? Kakiku?kok tidak ada?”
“ sayang, tangan dan kakimu sudah busuk. Jika tidak dibuang akan membahayakan dirimu.” Kata Ummi sambil memelukku. Beliau hanya bisa menangis melihat kondisiku yang seperti itu. Beliau menginap di RS Darurat untuk menemaniku hingga aku sembuh.
“ Ummi, Abi mana?”
“Abi sudah meninggal. Kak Hasan juga Kak Ali juga sudah meninggal sayang.”
“ Ummi, aku takut. Air kemarin tiba-tiba naik. Aku takut.”
“ Gak usah takut Hadi. Ada Ummi disini. Allah juga selalu bersamamu nak. Hadi tidak perlu takut selama Allah masih melindungimu.” Percakapanku bersama Ummi sangat membuatku lebih tenang. Bencana itu masih mengancam karena aktivitas gunung masih sangat tinggi. Sehingga dalam beberapa hari kedepan wilayah pantai harus kosong. Hanya petugas dan warga yang mendapat izin dari petugas yang bisa mendekati wilayah pantai. Setelah beberapa hari mendapatkan perawatan di RS Darurat, aku akhirnya diperbolehkan pulang. Aku dan Ummi tinggal di tempat penampungan sementara bersama para warga desa yang lain yang tempat tinggalnya hancur maupun yang di dekat area pantai mengingat kondisi yang masih berbahaya. Ditengah kondisi wilayah itu yang masih berbahaya aku juga harus kembali mempersiapkan ujian hafalan Al-Quranku yang tertunda walau belum tau kapan ujian itu akan dilaksanakan karena aktivitas gunung yang masih tinggi. Para relawan selalu memberikan dukungan kepada para korban bencana, terurama anak-anak yang mengalami cacat tubuh sepertiku. Setiap hari mereka memberikan kegiatan agar kami bisa menjalani aktivitas seperti biasa.
Ada beberapa relawan yang berasal dari luar negeri, seperti Kak Smith yang berasal dari Amerika dan Kak Wilhelmina yang berasal dari Belanda. Kak Smith adalah orang yang menemukan dan membawaku hingga ke RS Darurat. Dan Kak Wilhelmina sendiri merupakan seorang Dokter yang menanganiku dan yang mengamputasi salah satu kaki dan tanganku. Mereka juga terus memberikan dukungan kepadaku agar aku bisa pulih seperti sedia kala.
Suatu pagi, Ummi mengajakku ke pemakaman Abi dan kakak. Makam mereka berada di pemakaman massal di pusat kota. Pemakaman itu hanya berupa gundukan tanah dan ada penanda yang berupa pagar dan gapura yang bertuliskan “ Pemakaman Massal”.
“ Ummi, makam Abi, Kak Hasan, juga Kak Ali dimana?”
“Mereka semua dikubur dibawah gundukan tanah ini nak. Bukan hanya mereka saja yang dikubur disini, ada teman-teman kamu dan para warga yang tidak selamat juga dikubur disini.” Aku akhirnya tersadar jika pemakaman itu adalah pemakaman massal. Setelah memanjatkan doa kami pun pulang. Ditengah perjalanan aku bertemu dengan teman-temanku yang selamat dari bencana. Mereka terlihat tidak bersemangat.
“teman-teman, kok diam saja biasanya main.”
“Lagi malas Hadi.”
“Kenapa?”
“Malas saja. Tidak ada semangat”
“Main yuk teman-teman. Daripada diam saja”
Hening sejenak tanpa suara dari mereka. Dan akhirnya mereka mengiyakan ajakanku. Dengan menggunakan alat bantu berdiri dan tangat palsu Aku pun bermain bersama mereka. Setelah sekian lama bermain para relawan pun datang menyapa kami. Mereka berbincang-bincang lama dengan kami dan akhirnya mereka ikut bermain bersama kami. Kak Smith pun ikut bermain bersamaku dan membantuku yang kesuitan bergerak. Terlihat Kak Wilhelmina yang terlihat tersenyum. Kemudian berbincang-bincang dengan Ummi. Ummi memang menguasai bahasa inggris. Tidak heran jika Ummi dan Kak Wilhelmina bisa berbicara dengan akrab. Mereka berbincang tentang bencana yang baru saja terjadi.
“ Ibu, keluarganya Hadi?”
“Iya saya Ibunya.”
“pastinya Ibu senang melihat anaknya yang begitu semangat walau dia sekarang memiliki kekurangan”
“Iya, saya juga tidak tahu, kenapa musibah ini menimpa kami semua. Apalagi menimpa Hadi yang terbilang usianya masih belia.”
“Semua itu sudah Tuhan atur. Pasti ada maksud yang ingin Tuhan sampaikan dari bencana ini.”
“Kamu benar, pasti ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh yang Maha Kuasa dibalik semua ini.”
“Aku kira jawaban itu ada di dalam diri Hadi. Dia telah kehilangan Ayah dan kedua kakaknya. Dan dia juga kehilangan salah satu kaki dan tangannya. Dan Hadi masih terus bermain bersama teman-temannya ditengah keterbatasannya itu.”
“iya, aku pasti akan bertanya padanya dan pasti akan mendapatkan jawaban darinya.”
Ummi pun akhirnya ikut bermain bersama Aku dan teman-teman yang lainnya. Aku sangat senang Ummi membantuku dalam bergerak. Aku senang sekali. Di malam harinya, aku berniat untuk melanjutkan hafalanku yang sempat tertunda. Namun Ummi melarang karena kondisiku yang kurang kondusif dan dari pagi aku belum makan apapun. Ummi menyuruhku untuk makan baru boleh untuk melanjutkan hafalan.
“Hadi, makan dulu. Baru lanjutkan hafalanmu.”
“Iya Ummi. Al-Quran yang biasanya aku pake buat hafalan dimana?”
“sama Hadi ditaruh dimana setelah ashar tadi?”
“Aku taruh di tempat biasa. Tapi kok sekarang gak ada ya?”
“coba cari di tempat Al-Quran.”
“Oh iya, kok bisa ada disini?”
“Tadi kamu taruh di lantai. Lain kali hati-hati kalo nyimpan barang. Ayo makan habis itu lanjutkan hafalanmu.”
Aku hanya bisa mengiyakan. Setelah makan aku bersama Ummi murajaah Hafalanku yang sudah lama tidak dicek dan diulangi. Tapi syukurlah hafalanku masih kuat. Aku mempersiapkan ujian hafalan Al-Quranku yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat.
Setelah selesai hafalan, aku beristirahat. Namun, pada tengah malam aku terbangun dan melihat Ummi termenung. Aku mendekati Ummi.
“Hadi, tidur sudah malam.”
“Ummi kok belum tidur. Ummi ingat Abi ya?”
“Sayang, tidur ya. Besok pagi kamu harus murajaah hafalanmu.”
“Ummi, aku sayang Ummi……..karena Allah.”
“Ummi sayang Hadi karena Allah.”
Aku dan Ummi saling berpelukan. Aku akhirnya kembali tidur bersama Ummi. Keesokan harinya, aku seperti biasa bangun di shubuh hari. Aku sholat shubuh dan murajaah. Ummi sekarang yang menggantikan posisi Almarhum Abi untuk segalanya, termasuk menemaniku murajaah. Hari beranjak siang, aku bermain dengan teman-temanku di dekat pantai. Ditengah aktvitas gunung yang masih lumayan tinggi, para relawan selalu mengingatkan aku dan teman-temanku yang lain agar tidak terlalu mendekat dengan pantai. Karena kondisi masih berbahaya. Aku pun mengajak teman-teman untuk bermain di taman desa.
Hari terus berlalu. Keadaan gunung sudah mulai tenang. Para warga sudah diizinkan untuk mendekati pantai. Aku merasa senang karena badai itu sudah berlalu. Ujian hafalan Al-Quran akan segera dilaksanakan. Aku insya Allah sudah siap.
Suatu pagi, aku ingin bertemu para relawan yang berada di daerahku selama penanganan bencana. Tapi, aku sudah melihat mereka berkemas.
“Kak, kakak mau kemana?”
“Hadi, kakak mau pulang.”
“Pulang kemana?”
Ummi menjawab “Mau pulang ke negaranya masing-masing sayang. Tugas mereka sudah selesai. Waktunya mereka pulang.”
Aku menitikkan air mata. Kak Wilhelmina menghapus air mata dan berusaha menghiburku. Agar aku tidak menangis dan bersedih atas kepulangan mereka.
“Jangan menangis sayang. Nanti kakak akan mengabarimu dengan surat.”
“kak, jangan pulang.”
“kakak sebenarnya tidak ingin berpisah dengan Hadi. Tapi tugas kakak sudah selesai dan kakak harus pulang.”
Kak Smith pun menjawab “Hadi jangan menangis, suatu saat aku akan mengunjungimu.”
“Janji ya kak. Hadi tunggu.”
“Iya sayangku. Kakak akan menyempatkan datang kesini.”
Hari terus berjalan. Sekolah akhirnya aktif kembali setelah sekian lama libur. Walau dengan kondisi yang apa adanya, Aku tetap bersyukur aku tetap bisa bersekolah. Ujian Hafalan Al-Quran akan dilaksanakan kembali yang sempat tertunda akibat bencana yang melanda daerahku. Ujian akan dilaksanakan 2 pekan lagi di MI Tahfidz.
Ditengah-tengah persiapan ujian hafalan. Aku sempat mengingat almarhum Abi dan ketiga kakakku. Aku iri melihat teman-temanku yang lain masih bisa berkumpul bersama kedua orang tuanya. Aku sering menyendiri sambil melihat pantai.
“Hadi, kamu kenapa sayang?”
“Ummi, kenapa Abi dan kakak pergi secepat itu?”
“Hadi, kamu ingat mereka ya? Ini sudah menjadi ketetapan Allah.”
“Kenapa semua orang meninggalkanku? Hadi kangen sama Abi,sama kakak. Kakak-kakak relawan juga sudah pergi dari daerah kita.”
“Hadi, pasti akan ada ganti dari Allah. Hadi berdoa saja ya.”
Aku akhirnya berlari dengan rasa amarah bercampur sedih. Aku pergi dan tidak pulang hingga malam. Ummi merasa khawatir tentang kondisiku. Dan kondisi daerahku sedang dilanda cuaca buruk. Ummi menanyakan keberadaanku kepada hampir semua warga desa hingga bertanya kepada teman-temanku. Namun hanya kata tidak tahu yang diterima. Ummi ahirnya memutuskan untuk pulang dan mendapatiku dengan keadaan menggigil dan suhu badanku yang lumayan tinggi. Ummi embawaku menuju pos kesehatan terdekat untuk mengobatiku. Tim medis segera menanganiku. Setelah ditangani kondisiku mulai membaik. Satu-persatu teman dan warga datang membesukku. Aku menyadari bahwa masih banyak orang yang menyayangiku. Esok harinya aku diperbolehkan pulang. Setelah beberapa hari, keadaanku mulai membaik. Para Ustad di sekolah juga menyempatkan menjengukku. Ujian Hafalan akan digelar esok hari. Salah satu ustad menjengukku untuk memastikan kondisiku dan kesiapanku untuk ujian esok hari.
“Hadi, bagaimana kondisimu?”
“Alhamdulillah sehat Ustad.”
“bagaimana untuk besok? Sudah siap?”
“Insya Allah siap Ustad.”
“Oh iya, ada salam nih Dari Kak Wilhelmina.” Sambil menyodorkan surat. Setelah kubuka ternyata ada surat dan foto Kak Wilhelmina yang mengenakan jilbab.
“Kak Wilhelmina masuk islam ya.”
“Iya Hadi.”
“Kak Wilhelmina cantik ya?”
“kak Wilhelmina punya pesan untukmu supaya kamu tetap semangat.”
Aku terharu dengan pesan Kak Wilhelmina kepadaku. Ustad pun menyemangatiku agar aku siap untuk menghadapi Ujian Hafalan Al-Quran. Esok harinya aku siap untuk melaksanakan Ujian Hafalan Al-Quran. Aku berangkat bersama Ummi menuju tempat Ujian. Ummi juga berkata bahwa Hafalan Al-Quran yang aku punya bisa untuk mendoakan Abi. Aku bersemangat untuk menghadapinya.
Setelah sampai di sekolah. Aku masuk ke ruangan yang telah ditentukan. Dan aku mendapatkan urutan pertama untuk ujian hafalan. Aku mengucapkan ayat demi ayat Al-Quran yang diminta oleh penguji. Setelah melaksanakan ujian selama 30 menit ujian untukku akhirnya berakhir dan dinyatakan lulus oleh penguji. Aku mengucap syukur kepada Allah atas kemudahan yang telah diberikan. Ummi juga Nampak lega ketika aku dinyatakan lulus ujian hafalan Al-Quran. Aku berkata kepada Ummi bahwa aku ingin menuntaskan hafalanku sampai 30 juz.
“Ummi, aku ingin menyeesaikan hafalanku sampai 30 juz”
“Aamiin, Ummi berdoa semoga cita-citanya tercapai.”
Pada hari-hari berikutnya aku sangat bersemangat untuk menyelesaikan hafalan Al-Quranku. Dengan bantuan dari Ummi dan para Ustad aku terus menambah hafalanku agar aku bisa menghadiahkan surge bagi Abi.