Selasa, 29 Januari 2019

Desa Duwet Krajan Kecamatan Tumpang.

Desa Duwet Krajan. Desa ini berada di kecamatan Tumpang Kabupaten Malang. Desa ini berada sekitar 25 km arah menuju Gunung Bromo dan berjarak 7 KM dari pusat kecamatan. Daerah ini merupakan daerah dingin dan memiliki tanah yang sangat subur. Tak heran desa ini memiliki hasil bumi yang sangat berlimpah dan hasil yang sangat berkualitas. Seperti apel, kentang sayur-sayuran dan lain sebagainya.
Hasil pertanian dan hasil produksi rumahan dari para warga sangat berpotensi laku terjual jika masuk dalam pasar. Kualitas produk yang dihasilkan sangat bernilai jual tinggi. Sebut saja Apel Desa Duwet Krajan yang sebagian besar ditanam di Dusun Tosari memiliki kualitas yang lebih bagus dari Apel yang berasal dari Kota Batu. Hasil bumi lainnya seperti kentang sayur Kol dan masih banyak lagi Hasil pertanian di Desa ini juga memiliki kualitas yang tinggi sehingga akan bernilai tinggi jika masuk ke pasaran.
Tidak hanya hasil bumi yang menjadi unggulan desa ini. Berbagai olahan dari hasil bumi juga layak untuk dilirik. Sebut saja Ekstrak dari kunyit dan jahe yang diproduksi oleh warga Desa Duwet Krajan. suhu Desa yang dingin sangat cocok jika tersedia minuman penghangat tubuh. Ekstrak Jahe dan Kunyit sangat cocok jika dijadikan minuman mengingat Desa ini berada daerah pegunungan. Selain olahan dari hasil bumi, ada juga kerajinan anyaman tas yang dibuat oleh perkumpulan ibu-ibu Desa Duwet Krajan yang terbuat dari Tali kur. Produk ini sangatlah berpotensi laku dipasaran mengingat produknya yang sangat bagus.dan juga ada sebuah produk dari salah seorang warga yang bernama Apel Tubruk. Sesuai dengan namanya, produk ini berbahan dasar Apel dan sejenis minuman berbentuk teh. Namun produk Apel Tubruk ini produksinya memakan waktu yang cukup lama sehingga produsen kesulitan dalam memasarkan produknya.
Daya Tarik dari desa ini bukan hanya dari produknya yang memiliki kualitas yang sangat tinggi. Namun juga dari kesenian Jawa yang masih sangat kental. Sebut saja Jaranan, Macapat Malangan, Barongsai, tari topeng, juga pencak silat yang masih dilestarikan oleh masyarakat Desa. Kesenian Desa ini masih sering ditampilkan dalam berbagai acara sebut saja pernikahan, syukuran kelahiran bayi, dan ketika menyambut tamu-tamu penting.
Sebagai salah satu jalur menuju Pegunungan Tengger dan menuju Gunung Bromo, Desa ini memiliki pemandangan yang sangat indah. pemandangan Matahari Terbenam ketika senja sangat memukau siapa saja yang melihatnya. Tak hanya itu, Desa Duwet Krajan memiliki tempat wisata yang cocok bagi orang-orang yang ingin melepas penat dan hiruk-pikuk keramaian. Sebut saja Air Terjun Sumber Pitu, Air Terjun Coban Kembar, Gua Siluman dan beberapa objek wisata lainnya. Jalan menuju tempat wisata ini menampilkan pemandangan yang sangat memukau mata. Sebut saja jalur menuju Coban Kembar yang memiliki keindahan yang sangat eksotis dengan hamparan tumbuhan berwarna Hijau dari perkebunan milik warga. Walau jalan menuju beberapa tempat wisata tersebut masih melalui medan yang sulit, namun tempat wisata tersebut layak untuk dikunjungi. Jika ingin menuju Gunung Bromo melalui  Jalur Malang mampirlah ke Desa Duwet Krajan Kecamatan Tumpang.

Senin, 14 Januari 2019

Hadi sang penghafal Al-Quran.

Sang surya telah menampakkan dirinya. saatnya memulai rutinitas seperti biasanya. Aku telah terjaga ketika adzan shubuh berkumandang. Aku sholat berjamaah bersama Abi, Ummi, dan kedua saudaraku. Senang sekali rasanya.
Kenalkan namaku Hadi. Aku anak bungsu dari 3 bersaudara. Aku tinggal di daerah pesisir pantai yang menghadap Samudera yang luas. Di tengah samudra terlihat gunung yang sangat tinggi menjulang. Iya ada gunung yang berada ditengah samudera walau tidak berada persis di tengah samudra. Gunung itu merupakan gunung yang aktif dan sering menunjukkan aktivitasnya seperti mengeluarkan awan panas dan lava pijar. Aku bersyukur karena tempat tinggalku yang berada di daerah pesisir merupakan daerah tambak. Banyak sekali penduduk di desa ku yang bekerja sebagai petambak dan juga nelayan. Termasuk orang tuaku yang bekerja sebagai seorang nelayan. Oh iya, aku sekarang tinggal bersama kedua orang tuaku yang biasa kupanggil Abi dan Ummi. Mereka adalah orang tua yang sangat luar biasa. Kebijaksanaan mereka bisa mendamaikan pertengkaran orang lain, termasuk pertengkaran dari anak-anaknya. Selain tinggal bersama kedua orang tuaku, aku juga tinggal bersama kedua kakakku yang sangat aku sayangi. Mereka adalah kak Ali dan kak Hasan. Mereka sudah duduk di bangku SMA sedangkan aku sendiri masih duduk dibangku kelas 5 SD.
Sejak kami kecil, Abi dan Ummi telah membimbing kami agar kami menjadi manusia yang berguna. Mereka mengajari kami tentang kehidupan seorang nelayan. Kami terkadang ikut Abi melaut untuk mencari ikan. Di tengah-tengah laut itulah beliau menunjukkan arah angin dan bagaimana cara memaksimalkan hasil tangkapan ikan. Beliau juga mengajak kami ke pasar ikan untuk menjual hasil tangkapan ikan. Sedangkan Ummi juga mengajari kami bagaimana cara mengolah ikan.
Selain mengajari kami hal tersebut, kedua orang tuaku juga mengajari  kami tentang keagamaan. Mereka juga mendukung anak-anaknya untuk menjadi penghafal Al-Quran. Tidak heran jika aku dan kedua kakakku hafal Al-Quran walau hafalan kami belum 30 juz.
Hari sudah mulai beranjak siang. Aku siap untuk pergi bersekolah. Aku bersekolah di MI Tahfidz yang berada disamping masjid agung di tengah kota. Di sekolahku ada sebuah kewajiban bagi seluruh  seluruh siswanya untuk menghafalkan Al-Quran minimal 4 juz. Dan tak lama lagi akan ada ujian hafalan Al-Quran sebagai penilaian akhir untuk semester ini. Ujian itu akan dilangsungkan bulan depan. Tapi aku telah memulai mempersiapkan itu sudah lama, karena ujian itu selalu dilangsungkan pada tiap semesternya. Abi dan Ummi selalu membantuku dalam mempersiapkan ujian yang akan aku hadapi, termasuk ujian  ini. Aku akhirnya memberi tahu Abi tentang pengumuman penilaian akhir semester itu. Setelah shalat maghrib, seperti biasanya aku dibantu Abi menambah dan mengulang Hafalan Al-Quranku. “Alhamdulillah hafalanmu sudah bertambah dan sudah semakin kuat. Tingkatkan lagi hafalanmu ya.” Kata Abi menyemangatiku  sambil tersenyum melihat hafalanku yang sudah semakin banyak. Aku juga bersyukur mendengarnya. Ummi juga ikut bangga dan bersyukur mendengarnya. Hafalan dari kakak-kakakku juga bertambah. Mereka juga akan menghadapi ujian hafalan selang seminggu sebelum aku ujian.
Keesokan harinya, ketika aku menambah hafalan di latar Abi mengajakku ke pasar yang berada di pinggir kota. Beliau membelikanku sebuah Al-Quran yang khusus untuk hafalan. Aku senang sekali karena aku sudah lama menginginkan Al-Quran tersebut. Abi bilang jika Al-Quran semacam itu akan banyak membantu ketika aku menambah hafalan.
Setelah dari pasar aku langsung menuju alun-alun kota untuk menghabiskan waktu bersama teman-teman sekolah. Kami sangat asyik bermain bersama di alun-alun hingga tak terasa hari sudah siang dan hamper memasuki waktu dhuhur. Aku dan lainnya sepakat untuk pulang sebelum kena marah orang tua masing-masing. Kami pun pulang bersama-sama dan sampai rumah tepat ketika adzan dhuhur berkumandang. Aku bersyukur karena tidak dimarahi oleh orang tua dan kedua kakakku. Mereka menerapkan kedisiplinan waktu dengan sangat sehingga tak jarang aku terkena marah Karena sering lupa waktu terutama ketika main. Aku bergegas berwudhu dan sholat berjamaah bersama Abi. Lalu aku istirahat. Setelah sore dan melaksanakan sholat Ashar aku mengaji di TPQ yang berada di musholla dekat rumah. Setelah sholat Maghrib seperti biasa sebelum aku belajar Abi mengecek Hafalan Al-Quranku. Itu dilakukan setiap hari agar hafalanku tetap terjaga.
Waktu untuk ujian hafalan Al-Quran semakin dekat.aku sudah semakin siap untuk mengikuti ujian hafalan tersebut. Ditengah aku mempersiapkan ujian tersebut, gunung yang berada ditengah-tengah lautan beberapa kali menunjukkan aktivitasnya. Kata Ummi aktivitasnya meningkat. Gunung tersebut seringkali mengeluarkan awan dan lava pijar. Dan beberapa kali terjadi Gempa dalam sehari. Aku hanya bisa berdoa semoga tidak terjadi apa-apa.
Tak terasa ujian akan dilaksanakan esok hari. Aku sudah siap untuk ujian yang diselenggarakan. Kata Ummi aku harus sering-sering berdoa agar diberikan kelancaran oleh Allah. Akan tetapi aku merasakan adanya perbedaan yang ditunjukkan oleh seluruh hewan-hewan yang berada di sekitar pantai. Entah kenapa hewan-hewan tersebut enggan untuk menuju pantai dan beberapa hewan ternak juga meronta-ronta meminta keluar, bahkan ada beberapa yang berhasil kabur dari kandang mereka. Semoga tidak terjadi apa-apa, itulah doa yang dipanjatkan oleh Abi, Ummi, dan seluruh warga di tempatku tinggal.
Esok harinya. Memasuki waktu Dhuha dan aku tengah bersiap-siap untuk mengikuti ujian, tiba-tiba gempa mengguncang wilayah kami diikuti suara dentuman yang sangat keras. Suara dentuman itu terdengar berkali-kali sehingga membuat semua orang takut. Aku dan Abi akhirnya keluar ketika gempa mengguncang. Ummi melihat ke tengah-tengah samudra dan memberi tahu kami bahwa gempa dan suara dentuman itu berasal dari aktivitas gunung yang kian hari kian meningkat. Suara dentuman kian keras dan awan panas terus keluar dari gunung yang disertai lava yang berwarna merah api yang terus keluar tiada henti. Gempa terus-menerus mengguncang. Ditengah-tengah ketakutan yang dialami warga, mereka dikejutkan dengan air laut yang tiba-tiba surut. Tidak lama setelah surutnya air laut ada peringatan dari warga yang lain. “Awas, ombak besar ombak besar. Selamatkan diri, air laut naik, air laut naik cepat cari tempat tinggi air laut naik.” Sahut warga dari arah pantai yang disertai suara gemuruh dari laut. Benar saja, tiba-tiba air laut menggenangi daerah itu dan semakin tinggi. Air laut yang bercampur lumpur membawa apapun yang dilaluinya. Aku, orang tua dan kedua kakakku menyelamatkan diri menuju lantai 2 sekolah. Namun, karena gelombang yang sangat tinggi sekolahku pun akhirnya tenggelam. Daerahku akhirnya tenggelam oleh air laut. Aku terpisah dari keluargaku dan aku tidak sadarkan diri. Air bah menggulung desa tempatku tinggal sekitar 2 jam.
 Setelah air bah surut, aku terdampar di kaki bukit yang berjarak sekitar 6 KM dari lokasi awal aku berdiri. Dengan kondisiku yang tidak sadarkan diri. Selama aku tidak sadarkan diri, aku meli ketiga kakakku dan Abi berjalan menuju sebuah tempat yang indah. Namun, aku dilarang ketika aku ingin mengikuti mereka dengan alasan aku harus menyelesaikan hafalan Al-Quranku hingga selesai. Aku hanya bisa menangis ketika itu. Ketika aku tersadar, aku masih berada di kaki bukit itu. Aku merasakan sakit yang berada di kaki dan tanganku. Aku juga merasa lapar dan haus karena entah berapa lama tidak ada makanan maupun minuman yang masuk. Aku tidak mampu kemana-mana karena aku tidak bisa berdiri apalagi berjalan. Aku tidak tahu sampai kapan aku berada di tempat itu. Beberapa meter dari lokasiku berada ada juga Kak Hasan yang telah menjadi mayat dan ada beberapa orang yang kukenal termasuk  salah seorang temanku yang juga telah menjadi mayat. Waktu terus berjalan, namun aku belum bisa pergi dari tempat itu. Dan ditambah bau busuk yang diakibatkan oleh mayat-mayat yang berada disekitarku. Bau itu sangat menyengat. Karena kondisi ku yang juga lemah aku pun akhirnya kembali tidak sadarkan diri.
Ummi selamat dari musibah  itu karena berpegangan pada papan kayu dan tertahan di sebuah gedung. Ummi berada di dalam gedung yang sudah nyaris tenggelam hingga air surut. Setelah air surut, Ummilangsung turun dengan rasa shock karena bencana yang baru saja terjadi. Orang-orang yang dicintainya tidak ada disisinya dan rumah sudah tidak berbentuk. Ummi hanya bisa menangis dan memohon ampun kepada Allah dan memohon agar segera bertemu dengan orang-orang yang dicintainya bagaimanapun kondisinya. Untuk sementara waktu ummi tinggal di penampungan yang terletak di sebelah kantor desa. Tempat penampungan itu dibangun oleh relawan yang berada di lokasi itu untuk memberi bantuan kepada warga di daerahku. Tak lama setelah bencana itu terjadi bala bantuan datang. Bantuan itu dari pihak relawan dan tenaga kesehatan juga obat-obatan. Bantuan berupa bahan makanan dan pakaian juga berdatangan keesokan harinya. Para relawan itu mendirikan dapur umum untuk membantu menyediakan makanan. Dan relawan yang lain membantu untuk membersihkan daerah itu dan menyisir daerah tiap daerah untuk mencari korban baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Setelah 5 hari aku berada di kaki bukit tempatku terdampar, akhinya relawan menemukanku dan segera membawaku ke posko kesehatan terdekat. Seelah aku dicek di posko kesehatan mereka memutuskan agar aku dibawa  ke Rumah Sakit Darurat yang berada di Desa tempatku tinggal agar aku mendapat perawatan yang lebih baik melihat kondisiku yang begitu lemah. Sedangkan Kak Hasan langsung dibawa ke posko relawan yang berada ditengah kota.  Abi dan juga Kak Ali juga ditemukan meninggal dunia. Ummi yang beberapa hari mencari semua orang-orang yang dicintainya akhirnya harus rela menghikhlaskan Abi dan kedua anaknya ysng ditemukan dalam keadaan sudah menjadi mayat. Namun, masih belum mengetahui keadaanku. Beliau terus mencariku di beberapa posko penampungan, posko pengumpulan mayat, dan beberapa pos kesehatan.
Sesampainya di Rumah Sakit Darurat, aku langsung mendapatkan penanganan. Setelah aku diperiksa tim medis memutuskan untuk mengamputasi kaki kanan dan telapak tangan kiri. Operasi akhirnya dilaksanakan walau dengan alat seadanya. Operasi itu berjaan lancar dan berhasil. Ummi akhirnya mencari informasi keberadaanku di RS darurat. Disitulah beliau menemukanku dalam kondisi tak sadarkan diri. Dokter menjelaskan kondisiku dan telah melakukan operasi amputasi untuk kaki dan tanganku demi keselamatan jiwaku. Ummi hanya bisa menangis mendapati diriku dengan kondisi yang seperti itu. Malam Harinya, aku tersadar dan bingung dengan keberadaanku dan rasa panas yang kurasakan di bagian tangan kiri dan kaki kananku. Ummi akhirnya berkata “kamu berada di RS Darurat sayang.” Aku juga terkejut melihat tngan kiri dan kaki kananku sudah tidak ada. Aku bertanya kepada Ummi “tanganku? Kakiku?kok tidak ada?”
“ sayang, tangan dan kakimu sudah busuk. Jika tidak dibuang akan membahayakan dirimu.” Kata Ummi sambil memelukku. Beliau hanya bisa menangis melihat kondisiku yang seperti itu. Beliau menginap di RS Darurat untuk menemaniku hingga aku sembuh.
“ Ummi, Abi mana?”
“Abi sudah meninggal. Kak Hasan juga Kak Ali juga sudah meninggal sayang.”
“ Ummi, aku takut. Air kemarin tiba-tiba naik. Aku takut.”
“ Gak usah takut Hadi. Ada Ummi disini. Allah juga selalu bersamamu nak. Hadi tidak perlu takut selama Allah masih melindungimu.” Percakapanku bersama Ummi sangat membuatku lebih tenang. Bencana itu masih mengancam karena aktivitas gunung masih sangat tinggi. Sehingga dalam beberapa hari kedepan wilayah pantai harus kosong. Hanya petugas dan warga yang mendapat izin dari petugas yang bisa mendekati wilayah pantai. Setelah beberapa hari mendapatkan perawatan di RS Darurat, aku akhirnya diperbolehkan pulang. Aku dan Ummi tinggal di tempat penampungan sementara bersama para warga desa yang lain yang tempat tinggalnya hancur maupun yang di dekat area pantai mengingat kondisi yang masih berbahaya. Ditengah kondisi wilayah itu yang masih berbahaya aku juga harus kembali mempersiapkan ujian hafalan Al-Quranku yang tertunda walau belum tau kapan ujian itu akan dilaksanakan karena aktivitas gunung yang masih tinggi. Para relawan selalu memberikan dukungan kepada para korban bencana, terurama anak-anak yang mengalami cacat tubuh sepertiku. Setiap hari mereka memberikan kegiatan agar kami bisa menjalani aktivitas seperti biasa.
Ada beberapa relawan yang berasal dari luar negeri, seperti Kak Smith yang berasal dari Amerika dan Kak Wilhelmina yang berasal dari Belanda. Kak Smith adalah orang yang menemukan dan membawaku hingga ke RS Darurat. Dan Kak Wilhelmina sendiri merupakan seorang Dokter yang menanganiku dan yang mengamputasi salah satu kaki dan tanganku. Mereka  juga terus memberikan dukungan kepadaku agar aku bisa pulih seperti sedia kala.
Suatu pagi, Ummi mengajakku ke pemakaman Abi dan kakak. Makam mereka berada di pemakaman massal di pusat kota. Pemakaman itu hanya berupa gundukan tanah dan ada penanda yang berupa pagar dan gapura yang bertuliskan “ Pemakaman Massal”.
“ Ummi, makam Abi, Kak Hasan, juga Kak Ali dimana?”
“Mereka semua dikubur dibawah gundukan tanah ini nak. Bukan hanya mereka saja yang dikubur disini, ada teman-teman kamu dan para warga yang tidak selamat juga dikubur disini.” Aku akhirnya tersadar jika pemakaman itu adalah pemakaman massal. Setelah memanjatkan doa kami pun pulang. Ditengah perjalanan aku bertemu dengan teman-temanku yang selamat dari bencana. Mereka terlihat tidak bersemangat.
“teman-teman, kok diam saja biasanya main.”
“Lagi malas Hadi.”
“Kenapa?”
“Malas saja. Tidak ada semangat”
“Main yuk teman-teman. Daripada diam saja”
Hening sejenak tanpa suara dari mereka. Dan akhirnya mereka mengiyakan ajakanku. Dengan menggunakan alat bantu berdiri dan tangat palsu Aku pun bermain bersama mereka. Setelah sekian lama bermain para relawan pun datang menyapa kami. Mereka berbincang-bincang lama dengan kami dan akhirnya mereka ikut bermain bersama kami. Kak Smith pun ikut bermain bersamaku dan membantuku yang kesuitan bergerak. Terlihat Kak Wilhelmina yang terlihat tersenyum. Kemudian berbincang-bincang dengan Ummi. Ummi memang menguasai bahasa inggris. Tidak heran jika Ummi dan Kak Wilhelmina bisa berbicara dengan akrab. Mereka berbincang tentang bencana yang baru saja terjadi.
“ Ibu, keluarganya Hadi?”
“Iya saya Ibunya.”
“pastinya Ibu senang melihat anaknya yang begitu semangat walau dia sekarang memiliki kekurangan”
“Iya, saya juga tidak tahu, kenapa musibah ini menimpa kami semua. Apalagi menimpa Hadi yang terbilang usianya masih belia.”
“Semua itu sudah Tuhan atur. Pasti ada maksud yang ingin Tuhan sampaikan dari bencana ini.”
“Kamu benar, pasti ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh yang Maha Kuasa dibalik semua ini.”
“Aku kira jawaban itu ada di dalam diri Hadi.  Dia telah kehilangan Ayah dan kedua kakaknya. Dan dia juga kehilangan salah satu kaki dan tangannya. Dan Hadi masih terus bermain bersama teman-temannya ditengah keterbatasannya itu.”
“iya, aku pasti akan bertanya padanya dan pasti akan mendapatkan jawaban darinya.”
Ummi pun akhirnya ikut bermain bersama Aku dan teman-teman yang lainnya. Aku sangat senang Ummi membantuku dalam bergerak. Aku senang sekali. Di malam harinya, aku berniat untuk melanjutkan hafalanku yang sempat tertunda. Namun Ummi melarang karena kondisiku yang kurang kondusif dan dari pagi aku belum makan apapun. Ummi menyuruhku untuk makan baru boleh untuk melanjutkan hafalan.
“Hadi, makan dulu. Baru lanjutkan hafalanmu.”
“Iya Ummi. Al-Quran yang biasanya aku pake buat hafalan dimana?”
“sama Hadi ditaruh dimana setelah ashar tadi?”
“Aku taruh di tempat biasa. Tapi kok sekarang gak ada ya?”
“coba cari di tempat Al-Quran.”
“Oh iya, kok bisa ada disini?”
“Tadi kamu taruh di lantai. Lain kali hati-hati kalo nyimpan barang. Ayo makan habis itu lanjutkan hafalanmu.”
Aku hanya bisa mengiyakan. Setelah makan aku bersama Ummi murajaah Hafalanku yang sudah lama tidak dicek dan diulangi. Tapi syukurlah hafalanku masih kuat. Aku mempersiapkan ujian hafalan Al-Quranku yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat.
Setelah selesai hafalan, aku beristirahat. Namun, pada tengah malam aku terbangun dan melihat Ummi termenung. Aku mendekati Ummi.
“Hadi, tidur sudah malam.”
“Ummi kok belum tidur. Ummi ingat Abi ya?”
“Sayang, tidur ya. Besok pagi kamu harus murajaah hafalanmu.”
“Ummi, aku sayang Ummi……..karena Allah.”
“Ummi sayang Hadi karena Allah.”
Aku dan Ummi saling berpelukan. Aku akhirnya kembali tidur bersama Ummi. Keesokan harinya, aku seperti biasa bangun di shubuh hari. Aku sholat shubuh dan murajaah. Ummi sekarang yang menggantikan posisi Almarhum Abi untuk segalanya, termasuk menemaniku murajaah. Hari beranjak siang, aku bermain dengan teman-temanku di dekat pantai. Ditengah aktvitas gunung yang masih lumayan tinggi, para relawan selalu mengingatkan aku dan teman-temanku yang lain agar tidak terlalu mendekat dengan pantai. Karena kondisi masih berbahaya. Aku pun mengajak teman-teman untuk bermain di taman desa.
Hari terus berlalu. Keadaan gunung sudah mulai tenang.  Para warga sudah diizinkan untuk mendekati pantai. Aku merasa senang karena badai itu sudah berlalu. Ujian hafalan Al-Quran akan segera dilaksanakan. Aku insya Allah sudah siap.
Suatu pagi, aku ingin bertemu para relawan yang berada di daerahku selama penanganan bencana. Tapi, aku sudah melihat mereka berkemas.
“Kak, kakak mau kemana?”
“Hadi, kakak mau pulang.”
“Pulang kemana?”
Ummi menjawab “Mau pulang ke negaranya masing-masing sayang. Tugas mereka sudah selesai. Waktunya mereka pulang.”
Aku menitikkan air mata. Kak Wilhelmina menghapus air mata dan berusaha menghiburku. Agar aku tidak menangis dan bersedih atas kepulangan mereka.
“Jangan menangis sayang. Nanti kakak akan mengabarimu dengan surat.”
“kak, jangan pulang.”
“kakak sebenarnya tidak ingin berpisah dengan Hadi. Tapi tugas kakak sudah selesai dan kakak harus pulang.”
Kak Smith pun menjawab “Hadi jangan menangis, suatu saat aku akan mengunjungimu.”
“Janji ya kak. Hadi tunggu.”
“Iya sayangku. Kakak akan menyempatkan datang kesini.”
Hari terus berjalan. Sekolah akhirnya aktif kembali setelah sekian lama libur. Walau dengan kondisi yang apa adanya, Aku tetap bersyukur aku tetap bisa bersekolah. Ujian Hafalan Al-Quran akan dilaksanakan kembali yang sempat tertunda akibat bencana yang melanda daerahku. Ujian akan dilaksanakan 2 pekan lagi di MI Tahfidz.
Ditengah-tengah persiapan ujian hafalan. Aku sempat mengingat almarhum Abi dan ketiga kakakku. Aku iri melihat teman-temanku yang lain masih bisa berkumpul bersama kedua orang tuanya. Aku sering menyendiri sambil melihat pantai.
“Hadi, kamu kenapa sayang?”
“Ummi, kenapa Abi dan kakak pergi secepat itu?”
“Hadi, kamu ingat mereka ya? Ini sudah menjadi ketetapan Allah.”
“Kenapa semua orang meninggalkanku? Hadi kangen sama Abi,sama kakak. Kakak-kakak relawan juga sudah pergi dari daerah kita.”
“Hadi, pasti akan ada ganti dari Allah. Hadi berdoa saja ya.”
Aku akhirnya berlari dengan rasa amarah bercampur sedih. Aku pergi dan tidak pulang hingga malam. Ummi merasa khawatir tentang kondisiku. Dan kondisi daerahku sedang dilanda cuaca buruk. Ummi menanyakan keberadaanku kepada hampir semua warga desa hingga bertanya kepada teman-temanku. Namun hanya kata tidak tahu yang diterima. Ummi ahirnya memutuskan untuk pulang dan mendapatiku dengan keadaan menggigil dan suhu badanku yang lumayan tinggi. Ummi embawaku menuju pos kesehatan terdekat untuk mengobatiku. Tim medis segera menanganiku. Setelah ditangani kondisiku mulai membaik. Satu-persatu teman dan warga datang membesukku. Aku menyadari bahwa masih banyak orang yang menyayangiku. Esok harinya aku diperbolehkan pulang. Setelah beberapa hari, keadaanku mulai membaik. Para Ustad di sekolah juga menyempatkan menjengukku. Ujian Hafalan akan digelar esok hari. Salah satu ustad menjengukku untuk memastikan kondisiku dan kesiapanku untuk ujian esok hari.
“Hadi, bagaimana kondisimu?”
“Alhamdulillah sehat Ustad.”
“bagaimana untuk besok? Sudah siap?”
“Insya Allah siap Ustad.”
“Oh iya, ada salam nih Dari Kak Wilhelmina.” Sambil menyodorkan surat. Setelah kubuka ternyata ada surat dan foto Kak Wilhelmina yang mengenakan jilbab.
“Kak Wilhelmina masuk islam ya.”
“Iya Hadi.”
“Kak Wilhelmina cantik ya?”
“kak Wilhelmina punya pesan untukmu supaya kamu tetap semangat.”
Aku terharu dengan pesan Kak Wilhelmina kepadaku. Ustad pun menyemangatiku agar aku siap untuk menghadapi Ujian Hafalan Al-Quran. Esok harinya aku siap untuk melaksanakan Ujian Hafalan Al-Quran. Aku berangkat bersama Ummi menuju tempat Ujian. Ummi juga berkata bahwa Hafalan Al-Quran yang aku punya bisa untuk mendoakan Abi. Aku bersemangat untuk menghadapinya.
Setelah sampai di sekolah. Aku masuk ke ruangan yang telah ditentukan. Dan aku mendapatkan urutan pertama untuk ujian hafalan. Aku mengucapkan ayat demi ayat Al-Quran yang diminta oleh penguji. Setelah melaksanakan ujian selama 30 menit ujian untukku akhirnya berakhir dan dinyatakan lulus oleh penguji. Aku mengucap syukur kepada Allah atas kemudahan yang telah diberikan. Ummi juga Nampak lega ketika aku dinyatakan lulus ujian hafalan Al-Quran. Aku berkata kepada Ummi bahwa aku ingin menuntaskan hafalanku sampai 30 juz.
“Ummi, aku ingin menyeesaikan hafalanku sampai 30 juz”
“Aamiin, Ummi berdoa semoga cita-citanya tercapai.”
Pada hari-hari berikutnya aku sangat bersemangat untuk menyelesaikan hafalan Al-Quranku. Dengan bantuan dari Ummi dan para Ustad aku terus menambah hafalanku agar aku bisa menghadiahkan surge bagi Abi.

Teruntuk sahabat

Sahabat…
Bisakah kau katakan
Secantik apa Rembulan
Bila kau belum
Pernah kesana
Bisakah kau rasakan
Selembut apa awan
Bila kau belum
Pernah menyentuhnya
Dari mana kau tahu
Sepahit apa sebuah rasa
Bila kau belum
Pernah mengecapnya
Cukupkah hanya
Menatapnya dari
Kejauhan
Cukupkah menilainya
Tanpa tahu
Sebagaimana hati
Seseorang….

Bisakah kita menilainya
Bila menjenguk dasarnya
Tidak mampu
Pantaskah kita
Menghakimi seseorang
Bila hidup
Seperti apa
Yang dirasakan
Kita tidak tahu

Manusia mempunyai
Scenario kehidupannya sendiri
Dan juga mempunyai peran
Dalam sketsa kehidupan
Hanya ada satu sutradara
Yaitu Tuhan
Hanya dialah
Yang mempunyai hak
Untuk menilai
Juga menghakimi

Sahabat…..
Sebuah cermin
Hanya dapat memantulkan
Bayangannya.
Dia tak mampu
Melihat dirinya sendiri
Sebuah lilin
Dapat menerangi
Sekelilingnya
Dia tak mampu menyelamatkan
Dirinya sendiri.
Kita hanya bisa
Melihat apa
Yang tampak oleh mata
Hanya dapat mendengar
Yang terdengar
Oleh telinga
Hanya mampu merasa
Yang terkecap
Oleh bibir
Hanya mampu merasa
Yang tersentuh
Oleh jemari
Namun…..
Hati adalah rahasia
Bisakah kau ukur
Tingginya langit
Hanya dengan berandai
Memiliki dua sayap
Bisakah kau hitung
Banyaknya bintang
Hanya dengan
Kedua tanganmu
Ketika seseorang menangis
Kepadamu
Kau mengartikan dia
Tidak bersyukur
Bila seseorang
Membagi lukanya
Kau anggap
Dia lemah

Air mata dan hati
Yang diberikan Tuhan
Kepada manusia
Bukan tanpa maksud
Tangisan bukan berarti
Pertanda bahwa
Dia lemah
Berbagi luka
Bukan berarti
Keluh kesah
Semua itu
Tak bisa kau lihat
Hanya dari
Cermin dirimu

Terkadang sebuah kebenaran
Terletak pada
Segala yang tak mampu
Ia ungkapkan
Jika engkau ingin
Memahami seseorang
Jangan hanya mendengar
Apa yang ia ungkapkan
Tapi juga dari
Apa yang tidak terkatakan
Jangan hanya melihat
Dari yang terlihat
Namun juga dari
Apa yang tidak terlihat
Jangan hanya menilai rasa
Yang dia tunjukkan
Namun dari apa yang
Tak terlihat
Sanggupkah engkau
Wahai sahabatku?
Jika tidak sanggup
Janganlah engkau
Menjadi hakim bagi
Hidup orang lain

Sahabat….
Semoga kita diberikan ketenangan
Untuk menerima apa
Yang tidak dapat dirubah
Dan mengubah segala
Yang dapat diubah
Kita memiliki kebijaksanaan
Untuk mengetahui
Segala perbedaannya

Rabu, 09 Januari 2019

Hafalan sholat sang penghafal AlQuran.

Berada di tepi pantai nan indah, disitulah aku tinggal. Merasakan tinggal di kampung nelayan nan islami, membuatku mengerti tentang beharganya ciptaan tuhanku yang maha penyayang. Ayahku adalah seorang nelayan. Setiap pagi beliau menangkap ikan di laut. Dan ibuku adalah seorang pedagang yang akan menjual ikan hasil tangkapan ayah. Ibu juga mengolah sebagian hasil tangkapan ayah untuk makan sehari-hari. Tak jarang juga ibu menerima pesanan dari warga kota. Tak heran karena masakan ibu memeang terkenal enak.
Oh iya, kenalkan namaku Umar. Aku adalah anak bungsu dari 4 orang bersaudara. Aku masih berusia 7 tahun dan baru menginjak bangku Madrasah Ibtidaiyah atau setingkat SD. Aku bersekolah tak jauh dari rumah. Kakakku yang paling besar namanya kak Usman. Kak Usman ini sudah duduk di bangku SMA kelas 1. Sedangkan 2 kakak kembarku adalah kak Ali dan kak Hanafi masih SMP kelas 2. Hebatnya ketiga kakakku adalah penghafal Al Qur’an. Hafalan mereka sudah diatas 10 juz. Sedangkan aku masih juz amma. Semua itu adalah hasil bimbingan ayah dan ibuku yang senantiasa mendampingi kami ketika kami belajar dan menghafal Al Qur’an. Ketiga kakakku juga banyak sekali prestasi yang mereka raih. Bahkan kak Usman sudah bisa tembus Nasional. Aku salut dengan mereka.
Hari itu, seperti biasa ketika adzan shubuh berkumandang ibu selalu membangunkan kami untuk sholat shubuh berjamaah. Dan akulah yang paling sulit untuk dibangunkan. Dan biasanya ulah ketiga kakakku itulah yang membuatku terbangun ( walaupun dengan terpaksa akhirnya bangun dengan wajah masam ).
“ayo segera, keburu waktu shubuh habis.” Teriak ibu yang telah siap dengan mukenahnya. Kami akhirnya berkumpul di tempat sholat. Kami akhirnya sholat berjamaah. Setelah sholat biasanya aku harus menambah hafalan Qur’an ku dengan ibu. Dan kakak-kakakku akan menambah hafalan mereka di Masjid sekolah mereka masing-masing. Mereka hanya menambah sedikit saja di rumah.
Hari pun akhirnya beranjak pagi. Aku dan ketiga kakakku siap untuk bersekolah. Kak Usman berangkat lebih dulu karena masuk sekolah lebih pagi. Sedangkan aku dan kedua kakakku berangkat bersama dengan ibu yang akan pergi ke pasar. Di sekolah seperti biasa ustad Ilham memberikan pelajaran dan juga cerita yang membuat seisi kelas ramai. Namun, kali ini ada sebuah pengumuman penting kepada siswa kelas 1. Karena dalam waktu dekat akan diadakan ujian hafalan sholat. Ujian itu akan dilaksanakan bersamaan dengan ujian hafalan surat-surat juz amma. Dan akan dilaksanakan sekitar 3 bulan lagi.
Aku memberi tahu kabar ini kepada ibu dan juga ayah sepulang sekolah. Namun, mereka telah mengetahuinya. “ Ustad Ilham yang tlah memberi tahu ibu tentang kabar ini.” Jawab ibu. “mulai nanti Ayah, Ibu dan kakak-kakakmu akan membantumu untuk mempersiapkan ujian itu” Ayah menjawab dengan senyuman yang khas.
Setiap hari, Ibu dan Kak Usman mengecek hafalan bacaan dan juga gerakan sholat. Tapi, aku masih banyak bacaan ku yang terbalik, dan ada pula yang terlupa. Padahal, waktu ujian sudah semakin dekat. di tengah persiapan untuk ujian Kak Hanafi seringkali menggodaku, sehingga membuat konsentrasiku buyar. Kak Usman lah yang bisa membuat konsentrasiku kembali setelah beberapa saat buyar karena godaan kak Hanafi. Dan juga kak Usman selalu mengingatkan kak Hanafi agar tidak terus menggodaku. Kak Usman selalu dibuat pusing karena aku dan kak Hanafi yang sering saja ribut karena hal sepele.
Suatu pagi di hari minggu, ibu mengajakku pergi kepasar induk di pusat kota. Ibu membelikanku sebuah buku tuntunan solat, buku Iqro’, dan sebuah Al –Qur’an kecil. Aku sangat senang dengan beberapa barang yang ibu belikan.  Setelah pulang dari pasar aku pergi ke taman kota untuk bermain dan belajar sepeda. Ada seorang teman yang mau mengajariku sepeda, namanya Didin. Dia adalah teman sekelas dan tetanggaku. Kami sudah lumayan dekat. Aku ingin segera bisa bersepeda karena ayah dan ibu ku telah berjanji kepadaku akan membelikanku sepeda jika aku lulus ujian. Karena itulah aku sangat bersemangat untuk belajar sepeda. Sempat ada rasa iri dari temanku Didin. “Enak ya kamu masih punya ibu.”
“ ya sudah, ibuku ibumu juga”
Aku terlalu asyik untuk belajar sepeda. Tak terasa waktu sudah siang dan sudah lewat waktu dhuhur. Aku dan Didin pulang kerumah masing-masing. Sesampainya di rumah, Kak Usman memarahiku karena aku selalu lupa waktu ketika main. Tapi ibu bisa meredam kemarahan kakakku yang satu ini dan akhirnya aku hanya diingatkan agar ingat waktu ketika melakukan apapun. Aku akhirnya bersiap-siap untuk sholat bersama ayah.
Hari terus berjalan, waktu terus berputar. Ujian akan segera dimulai 2 hari lagi. Hafalanku juga sudah lumayan kuat. Sore harinya, aku pergi ke maddin tempat aku mengaji. Ustad Farhan sore ini memberikan kisah tentang sahabat nabi yang khusyuk dalam shalat. Aku senang dengan kisah yang diberikan ustad Farhan. Sepulang dari Maddin aku melihat ibu tampak tidak seperti biasanya. Seperti terlihat takut. Namun, aku tidak menanyakan itu kepadanya. Aku memilih langsung masuk ke rumah dan bertemu ayah.
Esok harinya, aku mempersiapkan ujian dengan ayah dan kak Usman. Mereka hanya memastikan bahwa aku sudah hafal gerakan dan bacaan yang akan diujikan esok hari. Kebetulan hari ini adalah hari libur karena tanggal merah. Dan ujian itu tepatnya pada hari Minggu. Hari itu hari berjalan biasa. Aku bermain di tepi pantai bersama teman-temanku. Sejenak aku melupakan ujian yang aku hadapi besok dengan teman-temanku. Mereka semua juga akan mengikuti ujian denganku besok. Sepertinya mereka sudah menyiapkan diri mereka dengan sebaik mungkin.
Ketika sore hari, entah kenapa aku melihat ibu menatap langit dengan aneh. Ketika aku bertanya, beliau hanya menjawab tidak ada apa-apa. Hanya saja merasa tidak enak. Namun, aku tidak mengerti sama sekali yang ibuku katakan. Aku tidak merasakan apapun pada waktu itu.
Ketika sholat Isya selesai, entah kenapa kami tidak langsung bubar dari tempat sholat. Aku, orang tuaku, dan juga ketiga kakakku berkumpul di tempat sholat. Kami saling berbagi cerita. Ayah dan juga Ibu lalu memeluk kami semua. Hari itu kurasakan ada sebuah kehangatan diantara aku dan mereka semua.
Keesokan harinya, ketika aku bersiap-siap untuk ujian, tiba-tiba sekelilingku bergoyang. Seketika semua orang berteriak “ada gempa, ada gempa.” Ibu langsung menghampiriku dan menyelamatkanku keluar rumah. Getaran yang kurasakan cukup lama. Ibu sampai berjalan sempoyongan ketika akan keluar untuk menyelamatkan diri dan menyelamatkanku. Gempa yang terjadi barusan juga sangatah kuat. Rumah kami pun mengalami keretakan di beberapa bagian. Ibu langsung menghampiri ayah yang sudah bersama ketiga kakakku. Setelah gempa itu selesai, Aku dan Ibu pergi ke sekolah bersama Kak Usman yang akan mengantarku ke sekolah.
Sesampainya di sekolah aku segera bersiap untuk ujian. Ujian sholat belum dimulai, namun bumi kembali beguncang. semuanya panic. Terdengar dari arah pantai suara gemuruh dan teriakan para nelayan “air laut naik. Air laut naik. Selamatkan diri, air laut naik.” Seketika semua orang berlarian menjauhi pantai melihat gelombang besar dari arah pantai. Kak Usman berlari terlebih dahulu, sedangkan Aku dan Ibu tertinggal di belakang. Kak Usman akhirnya kembali untuk membawaku dan Ibu menyelamatkan diri. Ketika kami hendak berlari, daerah itu telah dibanjiri air penuh lumpur dan kami akhirnya terbawa air tersebut. Aku berpegangan kuat kepada Ibu dan juga Kak Usman. Karena derasnya air, pegangan itu akhirnya terlepas. Ibu berusaha menggapai tanganku, namun usaha itu tidak berhasil. Aku tenggelam dan akhirnya tidak sadarkan diri
 Ketika aku tidak sadarkan diri, aku merasa berada di depan rumah dan menghadap laut. Aku melihat ada pintu yang sangat besar berada di tengah-tengah laut. Tak lama kemudian aku melihat Ayah dan ketiga kakakku bejalan kearah pintu besar itu. Mereka sempat menoleh ke arahku dan melambaikan tangan seakan mereka mau pergi jauh. Aku tidak tahu kenapa mereka ke tempat itu. Aku hanya menangis karena ditinggal oleh mereka. Tak lama kemudian, terdengar suara dari belakang dan ternyata itu suara Ustad Ilham. “ Umar, kenapa kau menangis?”
“Ayah dan kakakku pergi kesana. Aku takut sendirian.”
“Umar, kau tidak akan sendiri. Kamu akan memiliki banyak teman.”
“ tapi, Ustad juga mau pergi.”
“ Umar, kau harus menyelesaikan hafalan sholatmu. Kau juga harus menyelesaikan hafalan Al Qur’an mu. Kau tidak akan sendirian” ustad Ilham akhirnya pergi menuju pintu itu.
Tak lama akhirnya aku bertemu Didin dan ayahnya. “Didin mau kemana?”
“ Didin pengen ketemu Ibu.”
“ Aku ikut.”
Ayah Didin pun langsung menjawab “ Umar, kau tidak boleh ikut. Kau harus menuntaskan hafalan sholat dan Al Qur’anmu.”
“Tapi aku takut sendirian”
“Kau tidak akan sendirian. Umar akan memiliki banyak sekali teman”
Aku teringat, Ibu tidak ada di sampingku. Dimana ibu? Dimana beliau? Aku mencarinya di sekitar rumah.
Sedangkan, Ibuku sendiri berpegangan sebuah kayu. Kayu itu membawanya menuju kerumunan warga yang berada diatas sebuah gedung dan akhirnya Ibu selamat atas pertolongan warga.
Air berangsur-angsur surut. Aku terdampar di bawah sebuah bukit dengan kondisi tak sadarkan diri. Sedangkan Ibu hanya bisa menangis mengetahui semua orang yang dikasihnya tidak bersamanya. Rumah yang kami tinggali juga sudah tidak berbentuk. Ibu sendiri tidak tahu harus berbuat apa dan akan tinggal dimana.
Setelah beberapa lama tidak sadarkan diri, aku terbangun. Aku merasakan panasnya sengitan matahari dan rasa sakit yang berada di kakiku. Aku tidak sanggup untuk berdiri . aku melihat Didin  disampingku yang sudah menjadi mayat. Aku bertahan ditempat itu tanpa makanan juga air. Sesekali hujan mengguyur tempat itu dan aku bisa sejenak menghilangkan rasa dahagaku. Beberapa hari aku di tempat itu dan tidak bisa kemana-mana. Badanku mulai terasa lemas. Aku akhirnya kembali tak sadarkan diri. Aku akhirnya ditemukan oleh tim penyelamat yang sedang menyisir tempat itu. Mereka membawaku ke Rumah Sakit Darurat agar aku bisa segera pulih.
Ibuku sendiri mengalami sebuah trauma setelah bencana itu terjadi. Yang membuat Ibu menjadi bertambah sedih setelah mengetahui Ayah dan ketiga kakakku ditemukan meninggal dunia dan Ibu tidak tahu bagaimana nasibku.
Ketika aku sampai di Rumah Sakit Darurat, aku langsung ditangani tim kesehatan. Secara tidak sengaja, Paman dan Bibiku berada di RS itu karena anaknya yang kebetulan adalah saudara sepupuku pun mendapat luka yang cukup serius. Mereka melihatku sedang dibopong oleh relawan yang menemukanku. Akhirnya mereka mereka juga menemaniku ketika itu.
“ Dokter bagaimana keadaan keponakan saya?”
“ Pak, Bu, dia harus segera menjalani operasi. Operasinya harus dilakukan malam ini. Kaki kanannya sudah membusuk, jadi harus segera diamputasi agar dia bisa selamat”
Mereka merasa sedih ketika mendengar yang Dokter katakan. Operasi akhirnya dilaksanakan walau dengan peralatan yang seadanya. Setelah berjalan beberapa jam akhirnya operasi selesai dan berjalan lancar. Namun, aku masih belum sadar. Bibi akhirnya memberi kabar kepada Ibu tentang kondisiku. Ibu akhirnya pergi ke Rumah Sakit Darurat dan menuju ruangan tempat aku dirawat yang kebetulan berada satu ruangan dengan saudara sepupuku. Ibu hanya bisa berdoa agar aku segera sadar dan menangis melihat kondisiku yang penuh dengan luka.
Setelah menemaniku selama hampir seminggu dengan kondisiku yang tidak kunjung sadar, aku akhirnya kembali sadar dan aku mulai merasakan sakit pada kaki. Aku bingung dengan keberadaanku. Ibu akhirnya memberi tahuku bahwa aku berada di Rumah Sakit Darurat. Aku sadar bahwa aku berada di RS Darurat dan aku merasakan sakit pada kaki kananku. Setelah aku melihatnya ternyata kaki sebelah kananku sudah tidak ada. Ibu hanya bisa terdiam melihat kondisiku yang sekarang. Aku memang harus beberapa hari di RS Darurat agar kondisiku segera pulih. Ibu akhirnya menceritakan  bahwa Ayah dan ketiga kakakku sudah meninggal dunia. Aku akhirnya berjalan menggunakan bantuan tongkat yang diberikan para relawan yang menolongku.
Setelah pulih, aku dan Ibu menempati tempat tinggal sementara bersama warga yang lain. Aku dan Ibu berziarah ke makam Ayah dan ketiga kakakku. Kami berziarah dengan berjalan kaki karena pemakaman itu sangat dekat. Setelah beberapa lama kami berjalan, Ibu berhenti di depan sebuah gundukan tanah yang besar.
“ Ibu, makam Ayah dan kakak mana?”
“ mereka semua dimakamkan di gundukan pasir ini. Ayah, Kak Usman, Kak Hanafi, Kak Ali, Didin, Ayahnya Didin dan kakak-kakaknya Didin mereka semua dikuburkan disini.”
Aku akhirnya mengerti mereka dikuburkan secara massal. “ Umar, kita doakan mereka ya. Semoga mereka mendapatkan surga.” Aku hanya mengangguk mendengar yang Ibu katakan.
Aku masih merasa kehilangan Ayah dan ketiga kakakku dan aku masih merasa ketakutan setelah bencana itu terjadi. Entah kenapa, aku sering mengigau ketika malam hari. Aku juga sering melamun tanpa alasan yang jelas. Ingatan tentang bencana itu belum hilang. Hal ini sangat membuatku takut akan bencana yang menimpaku beberapa hari yang lalu. Aku tidak lagi bisa bermain dengan kawan-kawanku secara normal karena sejak bencana itu terjadi, aku takut ketika mendekati pantai. Aku sangat terganggu dengan keadaanku ini. Terkadang aku mendapatkan mimpi buruk ketika tidur yang membuatku kerap terbangun dan berteriak tanpa alasan yang jelas. Ibu merasa sangat bingung dengan kondisiku.
Aku tidak bisa berkonsentrasi untuk melanjutkan hafalan Al Quran dan hafalan shalatku. Untungnya, ada para relawan dan ada beberapa temanku yang selamat dari bencana itu yang menemaniku menjalani hari-hari yang begitu berat. Ustad Farhan juga tidak ketinggalan memberikan semangat kepada aku dan semua teman-temanku. Beliau juga tak segan ikut bermain bersama kami. Ustad Farhan akan menggantikan Ustad Ilham di Sekolah. Aku akhirnya tahu bahwa Ustad Ilham juga meninggal dunia ketika bencana itu terjadi. Ibu menceritakan keadaanku sejak bencana itu terjadi kepada Ustad Farhan. Ustad Farhan juga memahami kondisi yang kualami, karena kondisi itu juga dialami oleh teman-temanku yang lain. Ustad Farhan menyarankan agar aku dibawa ke posko trauma center agar aku mendapatkan penanganan yang lebih baik. Disana aku mndapatkan penanganan seperti di hipnotis. Dan diberi penguatan dan motivasi.
Dibantu relawan, Ustad Farhan memberikan beberapa permainan setiap hari kepadaku dan teman-temanku yang lain. Aku merasa senang sekali dengan permainan yang diberikan. Tidak jarang pula, ada cerita yang diberikan oleh mereka. Aku sangat terhibur. Aku juga diberi semangat agar aku bisa melanjutkan hafalan sholat dan menyelesaikan hafalan Al Quranku. Aku mulai melupakan bencana yang terjadi beberapa waktu lalu. Aku ingin menuntaskan hafalan shalat dan hafalan Al Quranku. “ Ingat ya, ketika Umar ingin cepat memahami ilmu dan menghafal Al-Quran, Umar harus ikhlas, hanya karena Allah, bukan karena apapun, apalagi karena ingin mendapat hadiah.” Kata Ustad Farhan kepadaku.
Aku akhirnya memulai mempersiapkan diri untuk ujian yang akan digelar dalam beberapa hari lagi. Untunglah, aku tidak melupakan semua gerakan dan bacaan yang pernah kuhafal sebelumnya. Aku juga bertekad akan selalu menambah hafalan Al-Quranku.
“ Umar, Ibu berjanji jika kamu lulus ujian hafalan shalat Ibu akan belikan kamu sepeda.”
“ tidak Ibu, Umar hanya ingin menghafal shalat agar Umar bisa shalat dengan baik. Dan ingin mendoakan Ayah, Kak Usman, Kak Ali, juga Kak Hanafi. Umar juga ingin menghafal Al-Quran seperti kakak. Ingin membawa Ayah dan Ibu ke surga.”
Ibu terharu mendengar jawabanku. “ semoga cita-citamu terkabul ya nak.”
“ Umar sayang Ibu karena Allah”
“ Ibu sayang Umar karena Allah”
Ibu langsung memelukku dengan bercucuran air mata. “ Umar sudah siap untuk ujian besok?”
“ sudah.”
“ Ya sudah, sekarang Umar istirahat ya. Besok kan harus ujian.” Aku langsung menuju kamar dan tidur agar esok tidak kesiangan.
Esok hari, aku bersiap-siap untuk melaksanakan ujian. Ibu sengaja membangunkanku di shubuh hari agar bisa memastikan semuahafalan shalatku benar dan tidak terbalik-balik. Dan, sebelum ke sekolah Ibu mengajakku ke pemakaman massal tempat Ayah dan ketiga kakakku dimakamkan. Selesai berdoa aku langsung menuju sekolah.
Ujian dimulai. Aku kedapatan untuk maju terlebih dahulu. Aku mempraktekan gerakan shalat dengan duduk karena salah satu kakiku telah diamputasi. Aku mempraktekan gerakan satu per satu dan melafalkan bacaannya. Aku terbayang wajah Ayah dan ketiga kakakku yang telah meninggal dunia. Aku berharap mereka bisa senang disana. Setelah selesai, aku dinyatakan lulus ujian dan Ustad Farhan memuji bacaanku yang begitu bagus. Alhamdulillah, aku bisa melalui ujian ini. Ustad Farhan tak lupa menyemangatiku karena hafalan Al-Quran yang kubacakan dalam shalat tadi juga dinilai bagus. Beliau berpesan agar hafalanku bisa sampai 30 juz sesuai cita-cita almarhum Ayah. Aku hanya bisa meminta bimbingan kepada Ustad Farhan dan juga Ibu agar aku bisa melaksanakan apa yang Ayah inginkan.
Setelah aku dinyatakan lulus ujian hafalan sholat, sekolah kembali aktif seperti sedia kala walau dalam kondisi yang sangat terbatas. Sementara gd sekolah kami sedang dalam perbaikan karena hancur dihantam air bah beberapa waktu yang lalu, kami belajar di gd serbaguna yang dipinjamkan pihak desa kepada sekolah. Aku juga kembali meneruskan hafalah Al-Quran ku.dengan bimbingan Ibu dan Ustad Farhan.

Bunda, kenapa hasan berbeda.

Adzan shubuh berkumandang. Seperti biasanya, bundaku membangunkanku dengan kasih sayang dan ketegasannya. “nak, ayo bangun. Sudah shubuh.” Aku pun terbangun dan melihat bunda dan kakakku sudah siap untuk sholat. “ayo ambil wudhu, bunda dan saudara-saudaramu yang lain sudah menunggu.” Akhirnya akupun bergegas mengambil air wudhu dan menyusul saudara-saudaraku yang lainnya ke tempat sholat.
Eits ya, aku akan memperkenalkan diri. Perkenalkan namaku Hasan. Aku adalah anak bungsu dari 3 orang bersaudara. Aku tinggal bersama bundaku yang sangat sabar dan terkenal tegas kepada anak-anaknya. Dan juga kedua kakak laki-lakiku, Husein dan Ahmad. Aku sayang terhadap kedua kakakku. Diantara kami kak Ahmad lah yang paling tua. Kak Ahmad sekarang sudah bekerja di Rumah Sakit yang itu adalah tempat kerja dari bundaku juga. Lalu ada kak Husein yang sekarang masih duduk di kelas 2 SMA. Kak husein ini adalah kakak andalan. Ketika bunda atau kak ahmad tidak ada di rumah, kak husein inilah yang memasak, mencuci baju, hingga menjadi guru privatku. Oleh karena itulah bunda tidak perlu mendatangkan guru privat dari luar.
Oh iya, selain tinggal dengan mereka bertiga aku juga tinggal dengan om dan juga tante. Yah mereka tinggal bersama kami sejak ayahku meninggal hampir 6 tahun yang lalu. Mereka berdualah yang membantu bunda dalam menjaga ketiga anaknya. Om ku adalah seorang psikolog di Rumah Sakit yang sama dengan bunda dan kakakku bekerja. Sedangkan tanteku sendiri adalah seorang penjahit. Jadi tanteku tidak perlu keluar rumah ketika bekerja, karena di bagian samping rumah ada ruangan kosong dan luas. Disitulah tanteku mengerjakan jahitan pesanan dari pelanggan.
Oh ya, aku terlahir dengan ketidak sempurnaan seperti umumnya kalian. Jadi aku terlahir sebagai anak tuli atau tunarungu. Aku harus memakai alat bantu mendengar agar aku bisa mendengar dengan baik. Terkadang aku minder dengan teman-temanku yang lain. Aku takut jika mereka tidak mau menerima keadaanku yang seperti ini.
Aku mempunyai cerita yang membuatku trauma dan juga minder. Aku memang pernah bersekolah di sekolah luar biasa di daerahku. Namun, ketika aku kelas 4 SD guruku dan kepala sekolah di sekolahku itu merekomendasikanku untuk masuk ke sekolah umum karena kecerdasan dan kemampuanku dalam menguasai materi pelajaran sudah bisa menyaingi anak-anak normal. Sebenarnya ada kekhawatiran dari tanteku. Dia khawatir apakah aku bisa beradaptasi dengan anak-anak normal dan bersaing dengan mereka. Sempat ada perdebatan antara bunda dan tanteku. Aku sempat mendengar perdebatan mereka. Mulai saat itu, aku sadar ada perbedaan antara diriku dengan anak-anak yang lain. Ketika masuk sekolah baru, rupanya aku disambut baik oleh pihak sekolah. Namun, tidak dengan beberapa orang temanku. Mereka memandangku sebelah mata dan berusaha membuatku agar tidak merasa nyaman. Hal itu mereka lakukan karena aku adalah Satu-satunya anak yang mempunyai keterbatasan. Apalagi ketika para guru tau bahwa aku adalah anak yang mempunyai talenta dalam bidang memainkan alat music biola dan kecerdasanku. aku mendapatkan perlakuan yang sangat menyakitkan dari mereka.
Sekarang, aku sudah duduk di bangku SMP. Dan Alhamdulillah aku bisa bersekolah di sebuah madrasah tsanawiyah unggulan di daerahku. Aku memang diberikan kesempatan agar aku bisa tetap melanjutkan sekolah dan tetap memiliki harapan juga cita-cita. Walaupun masih terbayang-bayang dengan perlakuan teman-temanku di masa lalu. Tetapi, kesempatan ini tidak bisa kusia-siakan dan aku tetap harus berusaha menjalani ini semua.
Dan hari ini, hari pertama aku masuk sekolah. Aku bersiap-siap dan memakai seragam yang telah ditentukan. Tak lupa aku memakai alat bantu dengar agar aku bisa mendengar dengan baik. Aku melangkahkan kaki selangkah demi selangkah memasuki area sekolah baruku. Ada ketakutan yang menghantui pikiranku. Bagaimana nanti teman-temanku? Apakah mereka mau menerimaku?. Ketika dikelas, aku sengaja memilih tempat duduk paling depan agar aku bisa mendengar penjelasan dari guru-guruku dengan jelas.
Bel masuk pun berbunyi semua pun bergegas untuk memasuki kelas. Aku ternyata duduk sendiri di bangku paling depan. Wali kelasku pun lalu masuk dan memberikan perkenalan dan beberapa hal yang dirasa penting. sebenarnya aku beberapa kali kurang mendengar dengan jelas terhadap apa yang disampaikan oleh wali kelasku. wali kelasku mengetahui bagaimana kondisiku yang sebenarnya. Dan ketika waktunya kami harus memperkenalkan diri, aku adalah orang yang pertama yang harus memperkenalkan diriku kepada teman-temanku. Untunglah aku dibantu oleh wali kelas dengan dia mendekat padaku ketika dia melontarkan pertanyaannya padaku. Walau sebenarnya ketika aku berbicara tidaklah selancar temanku yang tidak memiliki gangguan pendengaran sepertiku, aku tetap berusaha agar aku bisa berbicara. aku tidak ingin mereka sampai tau apa yang terjadi padaku. Jujur saja, aku minder dengan keadaanku yang seperti ini. Aku masih terbayang-bayang ketika aku mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan dari temanku yang lain. Karena hari ini adalah hari pertama, oleh karena itu belum ada materi yang diberikan hingga beberapa hari kedepan. Dan hanya menjalani masa orientasi hingga esok dan diisi oleh guru-guru. Karena perasaan minder akupun selalu menghindar dari teman-temanku.
Ketika waktu pulang ada kawan yang berusaha mendekatiku. Dia memiliki sebuah rasa penasaran kepadaku. Karena dia tau alat yang aku pasang di telingaku adalah alat bantu dengar. Dia pun terus mengejar dan mencoba menyapaku. Namun, karena aku merenggangkan alat bantu akupun tidak mendengar sapaannya. Dia terus mengikutiku dengan penuh rasa penasaran denganku. Di tengah jalan tak segaja aku bertabrakan dengan salah satu dari temanku. Alat bantu yang aku pakai pun terjatuh. Aku langsung memakainya dengan benar. Saat itulah aku mendengar sapaan dari temanku. Aku terkejut dan langsung berlari menjauhinya. Temanku pun terheran-heran. Aku terus berlari hingga sampai di pinggir jalan raya. Aku langsung memanggil taksi yang berada di depan gang sekolah. Akhirnya aku pulang menggunakan taksi.
Ketika sampai di rumah kak Husein langsung mengajak berbicara. Dia bertanya tentang sekolahku hari ini. “Bagaimana tadi di sekolah, lancar?” kakakku mencoba bertanya.
“Lancar kok kak.” Jawabku singkat.
 “Kak, kenapa aku mengalami seperti ini?” tanyaku
 “Maksud kamu?” kak Husein balik bertanya
“Kenapa harus hasan yang terlahir seperti ini?”  tanyaku
“Hasan, kenapa kamu berbicara seperti itu?” kak Husein bertanya dengan rasa penasaran yang begitu mendalam, aku hanya bisa terdiam. Aku tidak bercerita tentang apa yang terjadi tadi.
“Kakak harap Hasan bisa mendapat teman baru” kata kakak, aku pun sebenarnya kaget dengan apa yang kak Husein katakan.
Sekolah telah aktif beberapa hari. Aku terus menghindar dari teman-temanku. Gangguan pendengaran yang aku alami membuatku merasa kesulitan untuk mendengar. Aku seringkali bertanya kepada teman terdekat agar aku mendapatkan informasi yang diberikan. Aku mulai merasa canggung ketika berada di tengah-tengah sahabat-sahabatku. Tanpa aku ketahui sahabatku yang bernama Gandhi, menyampaikan keanehanku kepada teman-temanku yang lain. Rupanya, keanehan yang Gandhi rasakan juga dirasakan oleh yang lain. Keanehan itu mereka rasakan karena aku seringkali tidak bisa mendengar jelas apa yang mereka bicarakan dan gaya bicaraku yang tidak selancar mereka dan kagok. Tetapi mereka tidak menyampaikan perasaan mereka itu padaku. Beberapa hari telah kulalui. Entah kenapa teman-temanku semakin menjauhiku. Aku merasa sendiri diantara teman-temanku yang lain. Aku juga merasa bahwa aku menjadi bahan olokkan teman-temanku. Aku pun tidak bisa bertahan dengan semua ini dan akhirnya menangis dalam kamar pribadiku. Bundaku pun heran melihat kelakuanku belakangan ini. Bunda akhirnya bertanya kepadaku
“Hasan, Hasan kenapa? Coba Cerita sama bunda.” Bunda mencoba bertanya. Aku hanya terdiam dan tidak menjawab.
“Kenapa kelakuanmu berbeda akhir-akhir ini? Bunda harap kamu bisa beradaptasi dengan teman-temanmu yang lain.” Bunda berkata dengan penuh kebijaksanaannya.
“Bunda, kenapa Hasan berbeda dengan yang lain?” aku bertanya sambil memeluk Bunda
“apa yang Hasan maksud? Hasan tidak mempunyai perbedaan dengan yang lain.” Bunda berusaha meyakinkan dan menenangkanku
“tidak bunda, Hasan berbeda dari yang lain. Kenapa Hasan berbeda?” kataku dengan keadaan emosi yang tidak terkontrol
“Hasan tidak berbeda dengan yang lain. Kenapa Hasan seperti ini? Hasan, tidak ada perbedaan antara Hasan dengan yang lain.” Bunda terus meyakinkanku
“Bunda, kenapa Hasan berbeda bunda?” tangisku sambil memeluk bunda dengan erat.  bunda tidak bisa meyakinkanku bahwa aku tidaklah berbeda dengan yang lain. Bunda hanya ingin bahwa aku tidak merasa minder untuk beradaptasi di lingkunganku. Bunda terus menenangkanku dan membuatku berhenti menangis. Melihat kondisiku yang semakin tidak terkontrol, Om dan juga Tante pun juga memberikan semangat kepadaku.
“ Hasan, kamu sama kok sama teman-teman Hasan yang lain. Tidak ada yang berbeda antara kamu dengan teman-temanmu yang lain.”
“Hasan, kamu bisa seperti yang lain. Hasan punya prestasi yang gak kalah dengan teman-temanmu yang lain.”
“sudah, Hasan jangan menangis ya, coba Hasan tenangkan diri dulu. Hasan tidak ada yang berbeda dengan yang lain. Tidak berbeda dengan Bunda, dengan kakak, dengan saudaranya Hasan, dan juga teman-teman Hasan. Hasan tidak berbeda dari yang lain.” Kata Bunda menenangkanku dan menghapus air mataku.
Esok harinya, sepulang sekolah. Seperti biasa aku menunggu taksi yang biasa mangkal di depan gang sekolah. Aku memang hari itu dalam keadaan lelah dan lapar karena sejak pagi aku belum makan apapun dan kegiatan disekolah yang hampir memakan waktu seharian. Gandhi dan salah seorang temanku mendekatiku. Aku tidak sadar akan kehadiran mereka di dekatku. Gandhi memegang pundakku, aku pun terkejut. Karena keterkejutanku dan kondisiku yang lemas akhirnya aku pun tak sadarkan diri. Mereka membawaku menuju pos satpam sekolah dan berusaha menyadarkanku. Tidak lama, aku tersadar dan mereka membantuku untuk duduk. Aku terkejut dengan kehadiran mereka. Aku sadar bahwa alat bantu dengarku tidak berada di telinga dan aku melihat berada di tangan Gandhi. Aku segera mengambil benda itu dari tangan Gandhi. Aku menanyakan kenapa mereka ada disitu.
“Hasan, tadi kamu tidak sadarkan diri dijalan” temanku mulai bertanya tentang kelakuanku selama ini “Hasan, kamu kenapa sih, selama ini selalu menjauhi kami?” Tanya Gandhi
“Hasan, kamu benci sama kami? Kamu marah sama kami? Kenapa Hasan?” mereka bertanya kepadaku dengan penuh rasa penasaran. akhirnya aku menceritakan keadaanku yang sebenarnya kepada mereka.
“Aku takut” aku mulai menjawabnya
“takut? Takut kenapa? Apa yang Hasan takutkan dari kami?” Gandhi bertanya dengan penasaran.
“sebenarnya, aku tuli” “Ya Allah Hasan, jadi kamu tuli. Kenapa tidak cerita kepada kami? Kami gak seperti itu Hasan. Kami gk beda-bedain teman. Ya Allah Hasan.” Mereka berusaha menenangkanku dan menyuruhku untuk beristirahat. Aku akhirnya pulang dan beristirahat.
Akhirnya mereka berdua menceritakan hal tentang kekuranganku itu pada yang lain. Teman sekelasku akhirnya mengerti dan memaklumi dengan kondisiku saat ini. Mereka akhirnya meminta maaf kepadaku karena telah membuatku tidak nyaman. Akhirnya aku bisa memiliki teman di sekolah baruku itu. Ternyata, dugaanku selama ini salah. Aku diterima ditengah-tengah sahabat-sahabatku yang lain. Walaupun aku mempunyai keterbatasan di pendengaranku. Aku akhirnya bisa beradaptasi dengan mereka, dan mereka sangat mendukungku. Aku merasa sangat bersyukur mereka mau menerimaku. Mulai saat itulah aku tak ragu menunjukkan kemampuan dan kelebihanku kepada teman-temanku.

Selasa, 08 Januari 2019

Kawan
Kau bagaikan pelita
Ketika aku dalam kegelapan
Kawan
Kalian sangatlah berharga bagiku
Saat aku sedang down
Kalian selalu ada bagiku
Bangkitkan semangat dan terbitkan senyum di wajahku.
Kawan
Terima kasih kalian telah hadir
Dalam kehidupanku.
Berani untuk mengikhlaskan
Berani untuk melepaskan
Demi sebuah kebaikan
Aku memang harus merelakan
Merelakan seseorang yang aku sayangi
Seseorang yang aku cintai
Aku rela untuk menjalani
Ini semua