Eits ya, aku akan memperkenalkan diri. Perkenalkan namaku Hasan. Aku adalah anak bungsu dari 3 orang bersaudara. Aku tinggal bersama bundaku yang sangat sabar dan terkenal tegas kepada anak-anaknya. Dan juga kedua kakak laki-lakiku, Husein dan Ahmad. Aku sayang terhadap kedua kakakku. Diantara kami kak Ahmad lah yang paling tua. Kak Ahmad sekarang sudah bekerja di Rumah Sakit yang itu adalah tempat kerja dari bundaku juga. Lalu ada kak Husein yang sekarang masih duduk di kelas 2 SMA. Kak husein ini adalah kakak andalan. Ketika bunda atau kak ahmad tidak ada di rumah, kak husein inilah yang memasak, mencuci baju, hingga menjadi guru privatku. Oleh karena itulah bunda tidak perlu mendatangkan guru privat dari luar.
Oh iya, selain tinggal dengan mereka bertiga aku juga tinggal dengan om dan juga tante. Yah mereka tinggal bersama kami sejak ayahku meninggal hampir 6 tahun yang lalu. Mereka berdualah yang membantu bunda dalam menjaga ketiga anaknya. Om ku adalah seorang psikolog di Rumah Sakit yang sama dengan bunda dan kakakku bekerja. Sedangkan tanteku sendiri adalah seorang penjahit. Jadi tanteku tidak perlu keluar rumah ketika bekerja, karena di bagian samping rumah ada ruangan kosong dan luas. Disitulah tanteku mengerjakan jahitan pesanan dari pelanggan.
Oh ya, aku terlahir dengan ketidak sempurnaan seperti umumnya kalian. Jadi aku terlahir sebagai anak tuli atau tunarungu. Aku harus memakai alat bantu mendengar agar aku bisa mendengar dengan baik. Terkadang aku minder dengan teman-temanku yang lain. Aku takut jika mereka tidak mau menerima keadaanku yang seperti ini.
Aku mempunyai cerita yang membuatku trauma dan juga minder. Aku memang pernah bersekolah di sekolah luar biasa di daerahku. Namun, ketika aku kelas 4 SD guruku dan kepala sekolah di sekolahku itu merekomendasikanku untuk masuk ke sekolah umum karena kecerdasan dan kemampuanku dalam menguasai materi pelajaran sudah bisa menyaingi anak-anak normal. Sebenarnya ada kekhawatiran dari tanteku. Dia khawatir apakah aku bisa beradaptasi dengan anak-anak normal dan bersaing dengan mereka. Sempat ada perdebatan antara bunda dan tanteku. Aku sempat mendengar perdebatan mereka. Mulai saat itu, aku sadar ada perbedaan antara diriku dengan anak-anak yang lain. Ketika masuk sekolah baru, rupanya aku disambut baik oleh pihak sekolah. Namun, tidak dengan beberapa orang temanku. Mereka memandangku sebelah mata dan berusaha membuatku agar tidak merasa nyaman. Hal itu mereka lakukan karena aku adalah Satu-satunya anak yang mempunyai keterbatasan. Apalagi ketika para guru tau bahwa aku adalah anak yang mempunyai talenta dalam bidang memainkan alat music biola dan kecerdasanku. aku mendapatkan perlakuan yang sangat menyakitkan dari mereka.
Sekarang, aku sudah duduk di bangku SMP. Dan Alhamdulillah aku bisa bersekolah di sebuah madrasah tsanawiyah unggulan di daerahku. Aku memang diberikan kesempatan agar aku bisa tetap melanjutkan sekolah dan tetap memiliki harapan juga cita-cita. Walaupun masih terbayang-bayang dengan perlakuan teman-temanku di masa lalu. Tetapi, kesempatan ini tidak bisa kusia-siakan dan aku tetap harus berusaha menjalani ini semua.
Dan hari ini, hari pertama aku masuk sekolah. Aku bersiap-siap dan memakai seragam yang telah ditentukan. Tak lupa aku memakai alat bantu dengar agar aku bisa mendengar dengan baik. Aku melangkahkan kaki selangkah demi selangkah memasuki area sekolah baruku. Ada ketakutan yang menghantui pikiranku. Bagaimana nanti teman-temanku? Apakah mereka mau menerimaku?. Ketika dikelas, aku sengaja memilih tempat duduk paling depan agar aku bisa mendengar penjelasan dari guru-guruku dengan jelas.
Bel masuk pun berbunyi semua pun bergegas untuk memasuki kelas. Aku ternyata duduk sendiri di bangku paling depan. Wali kelasku pun lalu masuk dan memberikan perkenalan dan beberapa hal yang dirasa penting. sebenarnya aku beberapa kali kurang mendengar dengan jelas terhadap apa yang disampaikan oleh wali kelasku. wali kelasku mengetahui bagaimana kondisiku yang sebenarnya. Dan ketika waktunya kami harus memperkenalkan diri, aku adalah orang yang pertama yang harus memperkenalkan diriku kepada teman-temanku. Untunglah aku dibantu oleh wali kelas dengan dia mendekat padaku ketika dia melontarkan pertanyaannya padaku. Walau sebenarnya ketika aku berbicara tidaklah selancar temanku yang tidak memiliki gangguan pendengaran sepertiku, aku tetap berusaha agar aku bisa berbicara. aku tidak ingin mereka sampai tau apa yang terjadi padaku. Jujur saja, aku minder dengan keadaanku yang seperti ini. Aku masih terbayang-bayang ketika aku mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan dari temanku yang lain. Karena hari ini adalah hari pertama, oleh karena itu belum ada materi yang diberikan hingga beberapa hari kedepan. Dan hanya menjalani masa orientasi hingga esok dan diisi oleh guru-guru. Karena perasaan minder akupun selalu menghindar dari teman-temanku.
Ketika waktu pulang ada kawan yang berusaha mendekatiku. Dia memiliki sebuah rasa penasaran kepadaku. Karena dia tau alat yang aku pasang di telingaku adalah alat bantu dengar. Dia pun terus mengejar dan mencoba menyapaku. Namun, karena aku merenggangkan alat bantu akupun tidak mendengar sapaannya. Dia terus mengikutiku dengan penuh rasa penasaran denganku. Di tengah jalan tak segaja aku bertabrakan dengan salah satu dari temanku. Alat bantu yang aku pakai pun terjatuh. Aku langsung memakainya dengan benar. Saat itulah aku mendengar sapaan dari temanku. Aku terkejut dan langsung berlari menjauhinya. Temanku pun terheran-heran. Aku terus berlari hingga sampai di pinggir jalan raya. Aku langsung memanggil taksi yang berada di depan gang sekolah. Akhirnya aku pulang menggunakan taksi.
Ketika sampai di rumah kak Husein langsung mengajak berbicara. Dia bertanya tentang sekolahku hari ini. “Bagaimana tadi di sekolah, lancar?” kakakku mencoba bertanya.
“Lancar kok kak.” Jawabku singkat.
“Kak, kenapa aku mengalami seperti ini?” tanyaku
“Maksud kamu?” kak Husein balik bertanya
“Kenapa harus hasan yang terlahir seperti ini?” tanyaku
“Hasan, kenapa kamu berbicara seperti itu?” kak Husein bertanya dengan rasa penasaran yang begitu mendalam, aku hanya bisa terdiam. Aku tidak bercerita tentang apa yang terjadi tadi.
“Kakak harap Hasan bisa mendapat teman baru” kata kakak, aku pun sebenarnya kaget dengan apa yang kak Husein katakan.
Sekolah telah aktif beberapa hari. Aku terus menghindar dari teman-temanku. Gangguan pendengaran yang aku alami membuatku merasa kesulitan untuk mendengar. Aku seringkali bertanya kepada teman terdekat agar aku mendapatkan informasi yang diberikan. Aku mulai merasa canggung ketika berada di tengah-tengah sahabat-sahabatku. Tanpa aku ketahui sahabatku yang bernama Gandhi, menyampaikan keanehanku kepada teman-temanku yang lain. Rupanya, keanehan yang Gandhi rasakan juga dirasakan oleh yang lain. Keanehan itu mereka rasakan karena aku seringkali tidak bisa mendengar jelas apa yang mereka bicarakan dan gaya bicaraku yang tidak selancar mereka dan kagok. Tetapi mereka tidak menyampaikan perasaan mereka itu padaku. Beberapa hari telah kulalui. Entah kenapa teman-temanku semakin menjauhiku. Aku merasa sendiri diantara teman-temanku yang lain. Aku juga merasa bahwa aku menjadi bahan olokkan teman-temanku. Aku pun tidak bisa bertahan dengan semua ini dan akhirnya menangis dalam kamar pribadiku. Bundaku pun heran melihat kelakuanku belakangan ini. Bunda akhirnya bertanya kepadaku
“Hasan, Hasan kenapa? Coba Cerita sama bunda.” Bunda mencoba bertanya. Aku hanya terdiam dan tidak menjawab.
“Kenapa kelakuanmu berbeda akhir-akhir ini? Bunda harap kamu bisa beradaptasi dengan teman-temanmu yang lain.” Bunda berkata dengan penuh kebijaksanaannya.
“Bunda, kenapa Hasan berbeda dengan yang lain?” aku bertanya sambil memeluk Bunda
“apa yang Hasan maksud? Hasan tidak mempunyai perbedaan dengan yang lain.” Bunda berusaha meyakinkan dan menenangkanku
“tidak bunda, Hasan berbeda dari yang lain. Kenapa Hasan berbeda?” kataku dengan keadaan emosi yang tidak terkontrol
“Hasan tidak berbeda dengan yang lain. Kenapa Hasan seperti ini? Hasan, tidak ada perbedaan antara Hasan dengan yang lain.” Bunda terus meyakinkanku
“Bunda, kenapa Hasan berbeda bunda?” tangisku sambil memeluk bunda dengan erat. bunda tidak bisa meyakinkanku bahwa aku tidaklah berbeda dengan yang lain. Bunda hanya ingin bahwa aku tidak merasa minder untuk beradaptasi di lingkunganku. Bunda terus menenangkanku dan membuatku berhenti menangis. Melihat kondisiku yang semakin tidak terkontrol, Om dan juga Tante pun juga memberikan semangat kepadaku.
“ Hasan, kamu sama kok sama teman-teman Hasan yang lain. Tidak ada yang berbeda antara kamu dengan teman-temanmu yang lain.”
“Hasan, kamu bisa seperti yang lain. Hasan punya prestasi yang gak kalah dengan teman-temanmu yang lain.”
“sudah, Hasan jangan menangis ya, coba Hasan tenangkan diri dulu. Hasan tidak ada yang berbeda dengan yang lain. Tidak berbeda dengan Bunda, dengan kakak, dengan saudaranya Hasan, dan juga teman-teman Hasan. Hasan tidak berbeda dari yang lain.” Kata Bunda menenangkanku dan menghapus air mataku.
Esok harinya, sepulang sekolah. Seperti biasa aku menunggu taksi yang biasa mangkal di depan gang sekolah. Aku memang hari itu dalam keadaan lelah dan lapar karena sejak pagi aku belum makan apapun dan kegiatan disekolah yang hampir memakan waktu seharian. Gandhi dan salah seorang temanku mendekatiku. Aku tidak sadar akan kehadiran mereka di dekatku. Gandhi memegang pundakku, aku pun terkejut. Karena keterkejutanku dan kondisiku yang lemas akhirnya aku pun tak sadarkan diri. Mereka membawaku menuju pos satpam sekolah dan berusaha menyadarkanku. Tidak lama, aku tersadar dan mereka membantuku untuk duduk. Aku terkejut dengan kehadiran mereka. Aku sadar bahwa alat bantu dengarku tidak berada di telinga dan aku melihat berada di tangan Gandhi. Aku segera mengambil benda itu dari tangan Gandhi. Aku menanyakan kenapa mereka ada disitu.
“Hasan, tadi kamu tidak sadarkan diri dijalan” temanku mulai bertanya tentang kelakuanku selama ini “Hasan, kamu kenapa sih, selama ini selalu menjauhi kami?” Tanya Gandhi
“Hasan, kamu benci sama kami? Kamu marah sama kami? Kenapa Hasan?” mereka bertanya kepadaku dengan penuh rasa penasaran. akhirnya aku menceritakan keadaanku yang sebenarnya kepada mereka.
“Aku takut” aku mulai menjawabnya
“takut? Takut kenapa? Apa yang Hasan takutkan dari kami?” Gandhi bertanya dengan penasaran.
“sebenarnya, aku tuli” “Ya Allah Hasan, jadi kamu tuli. Kenapa tidak cerita kepada kami? Kami gak seperti itu Hasan. Kami gk beda-bedain teman. Ya Allah Hasan.” Mereka berusaha menenangkanku dan menyuruhku untuk beristirahat. Aku akhirnya pulang dan beristirahat.
Akhirnya mereka berdua menceritakan hal tentang kekuranganku itu pada yang lain. Teman sekelasku akhirnya mengerti dan memaklumi dengan kondisiku saat ini. Mereka akhirnya meminta maaf kepadaku karena telah membuatku tidak nyaman. Akhirnya aku bisa memiliki teman di sekolah baruku itu. Ternyata, dugaanku selama ini salah. Aku diterima ditengah-tengah sahabat-sahabatku yang lain. Walaupun aku mempunyai keterbatasan di pendengaranku. Aku akhirnya bisa beradaptasi dengan mereka, dan mereka sangat mendukungku. Aku merasa sangat bersyukur mereka mau menerimaku. Mulai saat itulah aku tak ragu menunjukkan kemampuan dan kelebihanku kepada teman-temanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar