Rabu, 09 Januari 2019

Hafalan sholat sang penghafal AlQuran.

Berada di tepi pantai nan indah, disitulah aku tinggal. Merasakan tinggal di kampung nelayan nan islami, membuatku mengerti tentang beharganya ciptaan tuhanku yang maha penyayang. Ayahku adalah seorang nelayan. Setiap pagi beliau menangkap ikan di laut. Dan ibuku adalah seorang pedagang yang akan menjual ikan hasil tangkapan ayah. Ibu juga mengolah sebagian hasil tangkapan ayah untuk makan sehari-hari. Tak jarang juga ibu menerima pesanan dari warga kota. Tak heran karena masakan ibu memeang terkenal enak.
Oh iya, kenalkan namaku Umar. Aku adalah anak bungsu dari 4 orang bersaudara. Aku masih berusia 7 tahun dan baru menginjak bangku Madrasah Ibtidaiyah atau setingkat SD. Aku bersekolah tak jauh dari rumah. Kakakku yang paling besar namanya kak Usman. Kak Usman ini sudah duduk di bangku SMA kelas 1. Sedangkan 2 kakak kembarku adalah kak Ali dan kak Hanafi masih SMP kelas 2. Hebatnya ketiga kakakku adalah penghafal Al Qur’an. Hafalan mereka sudah diatas 10 juz. Sedangkan aku masih juz amma. Semua itu adalah hasil bimbingan ayah dan ibuku yang senantiasa mendampingi kami ketika kami belajar dan menghafal Al Qur’an. Ketiga kakakku juga banyak sekali prestasi yang mereka raih. Bahkan kak Usman sudah bisa tembus Nasional. Aku salut dengan mereka.
Hari itu, seperti biasa ketika adzan shubuh berkumandang ibu selalu membangunkan kami untuk sholat shubuh berjamaah. Dan akulah yang paling sulit untuk dibangunkan. Dan biasanya ulah ketiga kakakku itulah yang membuatku terbangun ( walaupun dengan terpaksa akhirnya bangun dengan wajah masam ).
“ayo segera, keburu waktu shubuh habis.” Teriak ibu yang telah siap dengan mukenahnya. Kami akhirnya berkumpul di tempat sholat. Kami akhirnya sholat berjamaah. Setelah sholat biasanya aku harus menambah hafalan Qur’an ku dengan ibu. Dan kakak-kakakku akan menambah hafalan mereka di Masjid sekolah mereka masing-masing. Mereka hanya menambah sedikit saja di rumah.
Hari pun akhirnya beranjak pagi. Aku dan ketiga kakakku siap untuk bersekolah. Kak Usman berangkat lebih dulu karena masuk sekolah lebih pagi. Sedangkan aku dan kedua kakakku berangkat bersama dengan ibu yang akan pergi ke pasar. Di sekolah seperti biasa ustad Ilham memberikan pelajaran dan juga cerita yang membuat seisi kelas ramai. Namun, kali ini ada sebuah pengumuman penting kepada siswa kelas 1. Karena dalam waktu dekat akan diadakan ujian hafalan sholat. Ujian itu akan dilaksanakan bersamaan dengan ujian hafalan surat-surat juz amma. Dan akan dilaksanakan sekitar 3 bulan lagi.
Aku memberi tahu kabar ini kepada ibu dan juga ayah sepulang sekolah. Namun, mereka telah mengetahuinya. “ Ustad Ilham yang tlah memberi tahu ibu tentang kabar ini.” Jawab ibu. “mulai nanti Ayah, Ibu dan kakak-kakakmu akan membantumu untuk mempersiapkan ujian itu” Ayah menjawab dengan senyuman yang khas.
Setiap hari, Ibu dan Kak Usman mengecek hafalan bacaan dan juga gerakan sholat. Tapi, aku masih banyak bacaan ku yang terbalik, dan ada pula yang terlupa. Padahal, waktu ujian sudah semakin dekat. di tengah persiapan untuk ujian Kak Hanafi seringkali menggodaku, sehingga membuat konsentrasiku buyar. Kak Usman lah yang bisa membuat konsentrasiku kembali setelah beberapa saat buyar karena godaan kak Hanafi. Dan juga kak Usman selalu mengingatkan kak Hanafi agar tidak terus menggodaku. Kak Usman selalu dibuat pusing karena aku dan kak Hanafi yang sering saja ribut karena hal sepele.
Suatu pagi di hari minggu, ibu mengajakku pergi kepasar induk di pusat kota. Ibu membelikanku sebuah buku tuntunan solat, buku Iqro’, dan sebuah Al –Qur’an kecil. Aku sangat senang dengan beberapa barang yang ibu belikan.  Setelah pulang dari pasar aku pergi ke taman kota untuk bermain dan belajar sepeda. Ada seorang teman yang mau mengajariku sepeda, namanya Didin. Dia adalah teman sekelas dan tetanggaku. Kami sudah lumayan dekat. Aku ingin segera bisa bersepeda karena ayah dan ibu ku telah berjanji kepadaku akan membelikanku sepeda jika aku lulus ujian. Karena itulah aku sangat bersemangat untuk belajar sepeda. Sempat ada rasa iri dari temanku Didin. “Enak ya kamu masih punya ibu.”
“ ya sudah, ibuku ibumu juga”
Aku terlalu asyik untuk belajar sepeda. Tak terasa waktu sudah siang dan sudah lewat waktu dhuhur. Aku dan Didin pulang kerumah masing-masing. Sesampainya di rumah, Kak Usman memarahiku karena aku selalu lupa waktu ketika main. Tapi ibu bisa meredam kemarahan kakakku yang satu ini dan akhirnya aku hanya diingatkan agar ingat waktu ketika melakukan apapun. Aku akhirnya bersiap-siap untuk sholat bersama ayah.
Hari terus berjalan, waktu terus berputar. Ujian akan segera dimulai 2 hari lagi. Hafalanku juga sudah lumayan kuat. Sore harinya, aku pergi ke maddin tempat aku mengaji. Ustad Farhan sore ini memberikan kisah tentang sahabat nabi yang khusyuk dalam shalat. Aku senang dengan kisah yang diberikan ustad Farhan. Sepulang dari Maddin aku melihat ibu tampak tidak seperti biasanya. Seperti terlihat takut. Namun, aku tidak menanyakan itu kepadanya. Aku memilih langsung masuk ke rumah dan bertemu ayah.
Esok harinya, aku mempersiapkan ujian dengan ayah dan kak Usman. Mereka hanya memastikan bahwa aku sudah hafal gerakan dan bacaan yang akan diujikan esok hari. Kebetulan hari ini adalah hari libur karena tanggal merah. Dan ujian itu tepatnya pada hari Minggu. Hari itu hari berjalan biasa. Aku bermain di tepi pantai bersama teman-temanku. Sejenak aku melupakan ujian yang aku hadapi besok dengan teman-temanku. Mereka semua juga akan mengikuti ujian denganku besok. Sepertinya mereka sudah menyiapkan diri mereka dengan sebaik mungkin.
Ketika sore hari, entah kenapa aku melihat ibu menatap langit dengan aneh. Ketika aku bertanya, beliau hanya menjawab tidak ada apa-apa. Hanya saja merasa tidak enak. Namun, aku tidak mengerti sama sekali yang ibuku katakan. Aku tidak merasakan apapun pada waktu itu.
Ketika sholat Isya selesai, entah kenapa kami tidak langsung bubar dari tempat sholat. Aku, orang tuaku, dan juga ketiga kakakku berkumpul di tempat sholat. Kami saling berbagi cerita. Ayah dan juga Ibu lalu memeluk kami semua. Hari itu kurasakan ada sebuah kehangatan diantara aku dan mereka semua.
Keesokan harinya, ketika aku bersiap-siap untuk ujian, tiba-tiba sekelilingku bergoyang. Seketika semua orang berteriak “ada gempa, ada gempa.” Ibu langsung menghampiriku dan menyelamatkanku keluar rumah. Getaran yang kurasakan cukup lama. Ibu sampai berjalan sempoyongan ketika akan keluar untuk menyelamatkan diri dan menyelamatkanku. Gempa yang terjadi barusan juga sangatah kuat. Rumah kami pun mengalami keretakan di beberapa bagian. Ibu langsung menghampiri ayah yang sudah bersama ketiga kakakku. Setelah gempa itu selesai, Aku dan Ibu pergi ke sekolah bersama Kak Usman yang akan mengantarku ke sekolah.
Sesampainya di sekolah aku segera bersiap untuk ujian. Ujian sholat belum dimulai, namun bumi kembali beguncang. semuanya panic. Terdengar dari arah pantai suara gemuruh dan teriakan para nelayan “air laut naik. Air laut naik. Selamatkan diri, air laut naik.” Seketika semua orang berlarian menjauhi pantai melihat gelombang besar dari arah pantai. Kak Usman berlari terlebih dahulu, sedangkan Aku dan Ibu tertinggal di belakang. Kak Usman akhirnya kembali untuk membawaku dan Ibu menyelamatkan diri. Ketika kami hendak berlari, daerah itu telah dibanjiri air penuh lumpur dan kami akhirnya terbawa air tersebut. Aku berpegangan kuat kepada Ibu dan juga Kak Usman. Karena derasnya air, pegangan itu akhirnya terlepas. Ibu berusaha menggapai tanganku, namun usaha itu tidak berhasil. Aku tenggelam dan akhirnya tidak sadarkan diri
 Ketika aku tidak sadarkan diri, aku merasa berada di depan rumah dan menghadap laut. Aku melihat ada pintu yang sangat besar berada di tengah-tengah laut. Tak lama kemudian aku melihat Ayah dan ketiga kakakku bejalan kearah pintu besar itu. Mereka sempat menoleh ke arahku dan melambaikan tangan seakan mereka mau pergi jauh. Aku tidak tahu kenapa mereka ke tempat itu. Aku hanya menangis karena ditinggal oleh mereka. Tak lama kemudian, terdengar suara dari belakang dan ternyata itu suara Ustad Ilham. “ Umar, kenapa kau menangis?”
“Ayah dan kakakku pergi kesana. Aku takut sendirian.”
“Umar, kau tidak akan sendiri. Kamu akan memiliki banyak teman.”
“ tapi, Ustad juga mau pergi.”
“ Umar, kau harus menyelesaikan hafalan sholatmu. Kau juga harus menyelesaikan hafalan Al Qur’an mu. Kau tidak akan sendirian” ustad Ilham akhirnya pergi menuju pintu itu.
Tak lama akhirnya aku bertemu Didin dan ayahnya. “Didin mau kemana?”
“ Didin pengen ketemu Ibu.”
“ Aku ikut.”
Ayah Didin pun langsung menjawab “ Umar, kau tidak boleh ikut. Kau harus menuntaskan hafalan sholat dan Al Qur’anmu.”
“Tapi aku takut sendirian”
“Kau tidak akan sendirian. Umar akan memiliki banyak sekali teman”
Aku teringat, Ibu tidak ada di sampingku. Dimana ibu? Dimana beliau? Aku mencarinya di sekitar rumah.
Sedangkan, Ibuku sendiri berpegangan sebuah kayu. Kayu itu membawanya menuju kerumunan warga yang berada diatas sebuah gedung dan akhirnya Ibu selamat atas pertolongan warga.
Air berangsur-angsur surut. Aku terdampar di bawah sebuah bukit dengan kondisi tak sadarkan diri. Sedangkan Ibu hanya bisa menangis mengetahui semua orang yang dikasihnya tidak bersamanya. Rumah yang kami tinggali juga sudah tidak berbentuk. Ibu sendiri tidak tahu harus berbuat apa dan akan tinggal dimana.
Setelah beberapa lama tidak sadarkan diri, aku terbangun. Aku merasakan panasnya sengitan matahari dan rasa sakit yang berada di kakiku. Aku tidak sanggup untuk berdiri . aku melihat Didin  disampingku yang sudah menjadi mayat. Aku bertahan ditempat itu tanpa makanan juga air. Sesekali hujan mengguyur tempat itu dan aku bisa sejenak menghilangkan rasa dahagaku. Beberapa hari aku di tempat itu dan tidak bisa kemana-mana. Badanku mulai terasa lemas. Aku akhirnya kembali tak sadarkan diri. Aku akhirnya ditemukan oleh tim penyelamat yang sedang menyisir tempat itu. Mereka membawaku ke Rumah Sakit Darurat agar aku bisa segera pulih.
Ibuku sendiri mengalami sebuah trauma setelah bencana itu terjadi. Yang membuat Ibu menjadi bertambah sedih setelah mengetahui Ayah dan ketiga kakakku ditemukan meninggal dunia dan Ibu tidak tahu bagaimana nasibku.
Ketika aku sampai di Rumah Sakit Darurat, aku langsung ditangani tim kesehatan. Secara tidak sengaja, Paman dan Bibiku berada di RS itu karena anaknya yang kebetulan adalah saudara sepupuku pun mendapat luka yang cukup serius. Mereka melihatku sedang dibopong oleh relawan yang menemukanku. Akhirnya mereka mereka juga menemaniku ketika itu.
“ Dokter bagaimana keadaan keponakan saya?”
“ Pak, Bu, dia harus segera menjalani operasi. Operasinya harus dilakukan malam ini. Kaki kanannya sudah membusuk, jadi harus segera diamputasi agar dia bisa selamat”
Mereka merasa sedih ketika mendengar yang Dokter katakan. Operasi akhirnya dilaksanakan walau dengan peralatan yang seadanya. Setelah berjalan beberapa jam akhirnya operasi selesai dan berjalan lancar. Namun, aku masih belum sadar. Bibi akhirnya memberi kabar kepada Ibu tentang kondisiku. Ibu akhirnya pergi ke Rumah Sakit Darurat dan menuju ruangan tempat aku dirawat yang kebetulan berada satu ruangan dengan saudara sepupuku. Ibu hanya bisa berdoa agar aku segera sadar dan menangis melihat kondisiku yang penuh dengan luka.
Setelah menemaniku selama hampir seminggu dengan kondisiku yang tidak kunjung sadar, aku akhirnya kembali sadar dan aku mulai merasakan sakit pada kaki. Aku bingung dengan keberadaanku. Ibu akhirnya memberi tahuku bahwa aku berada di Rumah Sakit Darurat. Aku sadar bahwa aku berada di RS Darurat dan aku merasakan sakit pada kaki kananku. Setelah aku melihatnya ternyata kaki sebelah kananku sudah tidak ada. Ibu hanya bisa terdiam melihat kondisiku yang sekarang. Aku memang harus beberapa hari di RS Darurat agar kondisiku segera pulih. Ibu akhirnya menceritakan  bahwa Ayah dan ketiga kakakku sudah meninggal dunia. Aku akhirnya berjalan menggunakan bantuan tongkat yang diberikan para relawan yang menolongku.
Setelah pulih, aku dan Ibu menempati tempat tinggal sementara bersama warga yang lain. Aku dan Ibu berziarah ke makam Ayah dan ketiga kakakku. Kami berziarah dengan berjalan kaki karena pemakaman itu sangat dekat. Setelah beberapa lama kami berjalan, Ibu berhenti di depan sebuah gundukan tanah yang besar.
“ Ibu, makam Ayah dan kakak mana?”
“ mereka semua dimakamkan di gundukan pasir ini. Ayah, Kak Usman, Kak Hanafi, Kak Ali, Didin, Ayahnya Didin dan kakak-kakaknya Didin mereka semua dikuburkan disini.”
Aku akhirnya mengerti mereka dikuburkan secara massal. “ Umar, kita doakan mereka ya. Semoga mereka mendapatkan surga.” Aku hanya mengangguk mendengar yang Ibu katakan.
Aku masih merasa kehilangan Ayah dan ketiga kakakku dan aku masih merasa ketakutan setelah bencana itu terjadi. Entah kenapa, aku sering mengigau ketika malam hari. Aku juga sering melamun tanpa alasan yang jelas. Ingatan tentang bencana itu belum hilang. Hal ini sangat membuatku takut akan bencana yang menimpaku beberapa hari yang lalu. Aku tidak lagi bisa bermain dengan kawan-kawanku secara normal karena sejak bencana itu terjadi, aku takut ketika mendekati pantai. Aku sangat terganggu dengan keadaanku ini. Terkadang aku mendapatkan mimpi buruk ketika tidur yang membuatku kerap terbangun dan berteriak tanpa alasan yang jelas. Ibu merasa sangat bingung dengan kondisiku.
Aku tidak bisa berkonsentrasi untuk melanjutkan hafalan Al Quran dan hafalan shalatku. Untungnya, ada para relawan dan ada beberapa temanku yang selamat dari bencana itu yang menemaniku menjalani hari-hari yang begitu berat. Ustad Farhan juga tidak ketinggalan memberikan semangat kepada aku dan semua teman-temanku. Beliau juga tak segan ikut bermain bersama kami. Ustad Farhan akan menggantikan Ustad Ilham di Sekolah. Aku akhirnya tahu bahwa Ustad Ilham juga meninggal dunia ketika bencana itu terjadi. Ibu menceritakan keadaanku sejak bencana itu terjadi kepada Ustad Farhan. Ustad Farhan juga memahami kondisi yang kualami, karena kondisi itu juga dialami oleh teman-temanku yang lain. Ustad Farhan menyarankan agar aku dibawa ke posko trauma center agar aku mendapatkan penanganan yang lebih baik. Disana aku mndapatkan penanganan seperti di hipnotis. Dan diberi penguatan dan motivasi.
Dibantu relawan, Ustad Farhan memberikan beberapa permainan setiap hari kepadaku dan teman-temanku yang lain. Aku merasa senang sekali dengan permainan yang diberikan. Tidak jarang pula, ada cerita yang diberikan oleh mereka. Aku sangat terhibur. Aku juga diberi semangat agar aku bisa melanjutkan hafalan sholat dan menyelesaikan hafalan Al Quranku. Aku mulai melupakan bencana yang terjadi beberapa waktu lalu. Aku ingin menuntaskan hafalan shalat dan hafalan Al Quranku. “ Ingat ya, ketika Umar ingin cepat memahami ilmu dan menghafal Al-Quran, Umar harus ikhlas, hanya karena Allah, bukan karena apapun, apalagi karena ingin mendapat hadiah.” Kata Ustad Farhan kepadaku.
Aku akhirnya memulai mempersiapkan diri untuk ujian yang akan digelar dalam beberapa hari lagi. Untunglah, aku tidak melupakan semua gerakan dan bacaan yang pernah kuhafal sebelumnya. Aku juga bertekad akan selalu menambah hafalan Al-Quranku.
“ Umar, Ibu berjanji jika kamu lulus ujian hafalan shalat Ibu akan belikan kamu sepeda.”
“ tidak Ibu, Umar hanya ingin menghafal shalat agar Umar bisa shalat dengan baik. Dan ingin mendoakan Ayah, Kak Usman, Kak Ali, juga Kak Hanafi. Umar juga ingin menghafal Al-Quran seperti kakak. Ingin membawa Ayah dan Ibu ke surga.”
Ibu terharu mendengar jawabanku. “ semoga cita-citamu terkabul ya nak.”
“ Umar sayang Ibu karena Allah”
“ Ibu sayang Umar karena Allah”
Ibu langsung memelukku dengan bercucuran air mata. “ Umar sudah siap untuk ujian besok?”
“ sudah.”
“ Ya sudah, sekarang Umar istirahat ya. Besok kan harus ujian.” Aku langsung menuju kamar dan tidur agar esok tidak kesiangan.
Esok hari, aku bersiap-siap untuk melaksanakan ujian. Ibu sengaja membangunkanku di shubuh hari agar bisa memastikan semuahafalan shalatku benar dan tidak terbalik-balik. Dan, sebelum ke sekolah Ibu mengajakku ke pemakaman massal tempat Ayah dan ketiga kakakku dimakamkan. Selesai berdoa aku langsung menuju sekolah.
Ujian dimulai. Aku kedapatan untuk maju terlebih dahulu. Aku mempraktekan gerakan shalat dengan duduk karena salah satu kakiku telah diamputasi. Aku mempraktekan gerakan satu per satu dan melafalkan bacaannya. Aku terbayang wajah Ayah dan ketiga kakakku yang telah meninggal dunia. Aku berharap mereka bisa senang disana. Setelah selesai, aku dinyatakan lulus ujian dan Ustad Farhan memuji bacaanku yang begitu bagus. Alhamdulillah, aku bisa melalui ujian ini. Ustad Farhan tak lupa menyemangatiku karena hafalan Al-Quran yang kubacakan dalam shalat tadi juga dinilai bagus. Beliau berpesan agar hafalanku bisa sampai 30 juz sesuai cita-cita almarhum Ayah. Aku hanya bisa meminta bimbingan kepada Ustad Farhan dan juga Ibu agar aku bisa melaksanakan apa yang Ayah inginkan.
Setelah aku dinyatakan lulus ujian hafalan sholat, sekolah kembali aktif seperti sedia kala walau dalam kondisi yang sangat terbatas. Sementara gd sekolah kami sedang dalam perbaikan karena hancur dihantam air bah beberapa waktu yang lalu, kami belajar di gd serbaguna yang dipinjamkan pihak desa kepada sekolah. Aku juga kembali meneruskan hafalah Al-Quran ku.dengan bimbingan Ibu dan Ustad Farhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar